Ternyata! Ada Jejak Peradaban Masa Lalu di Tengah Hutan
MALANG – Pembuktian adanya peradaban masa lalu di Hutan Darsono, tepatnya di Desa Jombok, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Cak Hari bersama Kang Jari menelusuri daerah tersebut.
“Penelusuran ini kita lakukan untuk membuktikan benar tidaknya ada benda-benda yang diduga peninggalan peradaban masa lalu”, kata Cak Hari.
Saat penelusuran, Cak Hari dan Kang Jari menemukan 8 batu umpak, umpak ini tingginya 42 cm, lebar sisi umpak bagian atas 24 cm, serta lebar sisi umpak bagian bawah 32 cm.
Selain umpak, ada batu lumpang, dan lumpang ini berdiameter 66 cm, serta kedalaman lobang 28 cm. Belum jelas ukuran lumpang ini sesungguhnya, lantaran bagian bawah masuk ke dalam permukaan tanah.
Tidak jauh dari keberadaan lumpang, ada tumpukan bata merah yang tercecer di areal perkebunan. Panjang maupun lebar bata merah tak dapat diukur, lantaran kondisinya hancur, sedangkan ketebalannya terukur 10 cm.
Ternyata, selain bata merah yang tergeletak di atas permukaan tanah, ada tumpukan bata merah tersusun di dalam tanah. Namun, penggalian sebatas pembuktian saja, karena areal ini difungsikan perkebunan kopi.
Tak cuma itu, ada batu bulat tergeletak di areal perkebunan yang berukuran diameter 10 cm. Diduga, batu ini adalah batu dhorpal, dan ada kemungkinan masih ada batu jenis tersebut tercecer di sekitar perkebunan.
Di salah satu areal perkebunan, terdapat batu pipih dan datar dalam kondisi miring 72 derajat. Diameter batu tersebut tidak dapat dipastikan, lantaran sebagian masuk ke dalam tanah.
Tebal batu itu terukur 26 cm, dan kemungkinan batu ini adalah batu dhorpal, yang umum pada masa lalu digunakan untuk bermeditasi atau bertapa.
Sebelumnya, sekitar lebih 10 tahun lalu, Kang Jari pernah menemukan pecahan benda-benda mirip kendi, tetapi ukuran maupun bahannya tidak sebagaimana umumnya. Ukuran benda tersebut lebih tebal dan lebih berbobot ketimbang kendi-kendi yang dijual di pasar.
Pecahan benda mirip kendi itu, ditemukan Kang Jari di areal persawahan berdekatan sungai, dan areal penemuannya saling berdekatan. Jumlah pecahan benda, dikatakanya ada puluhan, namun pecahan benda itu dibuang di sungai, lantaran tak dapat digunakan untuk perlengkapan rumah tangga.
Ia mengakui, ketika menemukannya, tidak ada pikiran kemungkinan pecahan benda itu adalah benda kuno.
Menurut keterangan Wasis, warga setempat, sekitar lebih 10 tahun lalu, ia pernah menemukan pecahan benda berbentuk mirip piring yang memiliki ketebalan tidak sebagaimana umumnya. Ditemukannya pecahan benda itu, dilakukan secara tidak sengaja, ketika sedang mencangkul di areal persawahan.
Pecahan benda tersebut dikatakannya, ada lebih dari 10, kemudian ia mengumpulkannya dan memasukkan kedalam lobang, agar tidak melukai kaki.
Ketidaktahuannya terkait benda yang kemungkinan adalah benda kuno, menjadi penyebab ia tidak tertarik membawanya pulang. Selain itu, kondisi benda itu sudah dalam keadaan pecah, dan tidak dapat digunakan untuk perlengkapan rumah tangga.
Secara keseluruhan, belum diketahui secara pasti benda-benda yang ada di areal tersebut dari masa peradaban apa, dan dulunya daerah ini pernah digunakan untuk apa. Tetapi, ada dugaan, dijadikan tempat pendidikan di masa lalu, namun dugaan ini sebatas asumsi.
Kang Jari mengingatkan, kepada siapa saja yang berkunjung di lokasi tersebut, untuk senantiasa hati-hati, lantaran ada 2 titik tumpukan batu yang diindikasikan sebagai tempat persembunyian ular.
“Khusus di salah satu titik tumpukan batu itu, besar kemungkinan adalah tempat persembunyian ular jenis weling, karena hanya berjarak beberapa meter, ditemukan kulit ular yang mengelupas dan terukur panjang 86 cm”, jelas Kang Jari.
Berdasarkan pemetaan, dari arah berbeda, garis lurus ke arah Desa Bayem, Kecamatan Kasembon, dan di desa ini terdapat Candi Saptoargo. Sedangkan arah berlawanan, menuju Desa Ngabab, Kecamatan Pujon, dan desa ini tercatat dalam Prasasti Selobrojo.
Cak Hari berpesan, agar peduli terhadap segala benda-benda peninggalan leluhur. Kepedulian itu berhubungan erat dengan sejarah atau peradaban masa lalu, dan kepedulian itu bisa dengan cara merawatnya atau tidak mencurinya, sehingga jejak peradaban bisa dilihat dan dipelajari generasi mendatang. (red)