Telusur Wayang: Wayang Jemblung
CMN 101 – Wayang Jemblung adalah pertunjukan wayang khas yang berasal dari daerah Banyumas dan Bagelen. Wayang jemblung menekankan pada aspek lisan (oral) dalam pementasannya. Istilah jemblung merujuk pada bentuk wayang tanpa iringan gamelan.
Iringan dan musik pun dibawakan secara oral. Dalam tradisi, wayang jemblung dimainkan untuk acara selametan bayi yang berumur 5 hari. Dalam perkembangannya, wayang jemblung meluas sampai ke daerah Kediri dan Blitar.
Wayang jemblung dipentaskan oleh lima orang yang bertindak sebagai dalang sekaligus sebagai wayang, pemusik, dan sindhen. Wayang jemblung menggabungkan gerak (teater) dan tradisi lisan. Ada tiga versi terkait sejarah munculnya Wayang Jemblung.
Versi pertama, dalam masyarakat Banyumas terdapat tradisi slametan untuk bayi yang baru saja lahir. Tujuannya adalah menjaga keselamatan ibu dan bayi dari bahaya serangan makhluk halus. Acara yang diadakan semalam suntuk ini disebut Nguyen atau Muyi yang artinya bertemu bayi.
Acara ini berisi pembacaan tembang-tembang macapat. Selain itu dibaca juga cerita-cerita babad. Pembacaan cerita ini dibawakan oleh seorang dalang. Sambil bercerita sang dalang juga memeragakan kisah-kisah yang ia baca. Orang-orang mulai menyebutnya gemblung atau gila. Kata gemblung ini perlahan bergeser menjadi jemblung.
Maka muncul istilah dalang jemblung. Dalam perkembangannya, wayang jemblung tidak hanya dibawakan oleh satu orang dalang, tetapi 3 sampai 4 dalang dengan satu sindhen. Akan tetapi, yang tidak berubah adalah ciri khas wayang jemblung yang tanpa wayang dan iringan gamelan.
Versi kedua menceritakan bahwa wayang jemblung muncul pada zaman Amangkurat I di Kerajaan Mataram. Pada zaman itu hidup seorang dalang bernama Ki Lebdojiwo. Tokoh idola Ki Lebdojiwo adalah Umarmadi. Ki Lebdojiwo sering menyebutnya dengan sebutan Jemblung Umarmadi
Pada saat pemberontakan Trunajaya terhadap Mataram, Amangkurat I meninggalkan Mataram menuju Batavia. Ki Lebdojiwo yang menjadi salah satu pengikut setia Amangkurat juga mengiringi perjalanan Amangkurat.
Di suatu persinggahan orang-orang meminta agar Ki Lebdojiwo membuat pertunjukan wayang. Karena terburu-buru Ki Lebdojiwo tidak sempat membawa wayang. Maka, Ki Lebdo melakukan pertunjukan wayang tanpa wayang dan iringan.
Namun, karena kemahiran Ki Lebdo, pertunjukannya malah menarik para penonton. Setelah itu pertunjukan tanpa wayang dan iringan yang dibawakan oleh Ki Lebdojiwo disebut wayang jemblung, karena tokoh ceritanya adalah Jemblung Umarmadi.
Versi Ketiga bercerita tentang Raden Kaligenten yang menjadi penguasa di desa Watukumpul, Purbalingga, ingin memperistri putri seorang pendeta. Dalam acara pernikahannya, Raden Kaligenten menghendaki hiburan yang unik dan lain dari biasanya.
Maka munculah pembacaan kisah-kisah nabi dengan peragaan yang dilakukan oleh sang pencerita. Pada zaman itu istilah hiburan diberi nama wong gemblung karena membuat orang tampak seperti gila.
Istilah itu kemudian bergeser menjadi jemblung. Dalam perkembangannya pula cerita tidak hanya diangkat dari kisah para nabi, tetapi juga mengambil kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. (red)