NEWS

Tandur, Jejak Teknik Pertanian Warisan Kolonial

CMN 101 – Tandur” merupakan istilah dalam pertanian masyarakat Subang yaitu singkatan dari bahasa sunda “Tanam Mundur”(Tandur). Tandur adalah suatu cara dalam menanam padi di sawah dengan lahan basah atau sawah irigasi.

Kabupaten Subang memiliki lahan subur dan aliran sungai yang cukup banyak, menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah penyandang predikat lumbung padi nasional.

Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia terutama di Subang Jawa Barat masih menggunakan teknik tradisional dengan cara di aseuk atau ngaseuk (menanam benih setelah tanah dilubangi dengan batang kayu/tongkat).

Ngaseuk masih dilakukan sampai sekarang akan tetapi untuk menanam benih padi sudah tidak lagi menggunakan aseuk terkecuali menanam padi varietas huma di lahas sawah tadahujan.

Menurut sejarah teknik ngaseuk ini dilarang oleh pemerintah kolonial militer Jepang pada masa Penjajahan Jepang di Indonesia, dan digantilah dengan sistem menurut garis lurus jarak antar bibit padi 20 cm. Hal ini ditujukan untuk mengatasi rendahnya tingkat produktivitas padi.

Kurasawa dalam bukunya Mobilitas dan Kontrol memaparkan bahwa di jawa sebelum perang, petani menanam padi secara acak (tidak menurut garis lurus) di sawah, dan Jepang menemukan bahwa hal itu merupakan salah satu sebab rendahnya tingkat produktivitas padi. Mereka memerintahkan petani untuk mengikuti cara Jepang.

Setelah serangkaian percobaan yang dilakukan oleh para insinyur pertanian Jepang, ditemukan bahwa jarak tanam yang ideal diantara bibit dari kebanyakan daerah Jawa, dengan tatanan lingkungannya serta bagi jenis padi yang ada, ialah 20 cm.

Cara tanam ini dilakukan dengan berjalan membungkuk mundur oleh karena itu disebut tandur, cara ini dilakukan agar benih padi yang telah ditanam tidak terinjak oleh kaki petani yang menanamnya, cara menanamnya yaitu ibu jari, telunjuk dan jari tengah memegang pangkal batang dekat akar benih lalu ditancapkan ke dalam tanah.

Ada juga yang dilakukan dengan berjalan membungkuk kedepan, akan tetapi penamaan ini tidak berubah masih tetap saja tandur. Benih padi tersebut ditanam diantara pertemuan garis lurus yang memanjang dan memotong pada satu petak sawah, sehingga tampak rapih dan berbaris sesuai dengan garis caplakan.

Petani yang sudah lama menggunakan teknik ngaseuk pada masa kolonial Belanda mendapatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan aturan pemerintah Jepang. Akan tetapi pada kenyataannya inovasi teknik tersebut membuahkan hasil bahkan sampai hari ini masih tetap dilakukan oleh masyarakat yang ada di Seluruh Indonesia.

Pada masa Penjajahan militer Jepang, “petani menduduki status peringkat kedua (setelah samurai)”. Secara teoritis petani pada masa itu menikmati kedudukan yang lebih tinggi daripada pedagang dan pengrajin, sekalipun kedudukan ekonomi mereka sesungguhnya yang terendah. (red)

 

%d blogger menyukai ini: