NEWS

Salat Tujuh Waktu Di Dunia Kristen Arab

CMN 101 – Salat Tujuh Waktu (As-Sab’u ash-Shalawat) adalah salah satu ritual atau tata ibadat Kristen dalam Gereja Ritus Timur. Liturgi ini terus dilakukan di kekristenan Arab, sebagaimana juga terdapat dalam tradisi ritus latin dengan nama “Brevir”.

Hampir seluruh Gereja-gereja Timur masih melaksanakan ibadat ini. Dalam gereja-gereja Ortodoks jam-jam doa (‘iddana tselota atau sa’atush salat) ini masih dipertahankan tanpa putus sebagai doa-doa baik kaum imam (klerus) maupun untuk umat (awam).

Kata “Salat” jarang disinggung-sentuh oleh orang Kristen di Indonesia, karena kata yang identik dengan “Sembahyang” itu lebih umum dipakai untuk ibadah dalam agama Islam. Padahal jauh sebelum kaum Muslim menggunakan kata ini, penganut Gereja Kristen Ortodoks, yang dicatat sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 M, telah menggunakan kata “Salat” saat menunaikan ibadah.

Kata “Salat” dalam bahasa Indonesia merupakan kata ambilan dari bahasa Arab, yang berasal dari kata tselota dalam bahasa Aram (Suriah) yaitu bahasa yang digunakan oleh Yesus Kristus pada masa hidupnya di dunia. Bagi umat Kristen Ortodoks Arab yaitu umat Kristen Ortodoks yang berada di Mesir, Palestina, Yordania, Libanon dan daerah Timur Tengah lainnya menggunakan kata tselota tersebut dalam bentuk bahasa Arab Salat, sehingga doa “Bapa kami” oleh umat Kristen Ortodoks Arab disebut sebagai Sholattul Rabbaniyah.

Kata Arab “salat” berasal dari bahasa Aram “tselota”. Contoh kata ini misalnya terdapat pada Kisah Para Rasul 2:42 dalam teks Pesyita, yaitu terjemahan kuno Alkitab dalam bahasa Aram/Suryani: “waminin hu bsyulfana dshliha wmishtautfin hwo batselota wbaqtsaya deukaristiya” (Mereka bertekun dalam pengajaran para Rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu menjalankan salat-salat dan merayakan Ekaristi atau “Khidmat al-Quddus”).

Dalam Alkitab bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut: “kasril khubzi wa shalawat” (memecah-mecahkan roti dan melaksanakan salat-salat). Dua corak ibadah ini merupakan pelaksanaan kedua corak ibadah Yahudi: “Mahzor dan Siddur”. Mahzor ialah perayaan besar yang diselenggarakan 3 kali dalam setahun di kota suci Yerusalem.

Kata yang diterjemahkan “perayaan”, dalam bahasa Ibrani adalah Hag (Hajj ). Ketujuh ibadah sakramental, khususnya “Qurbana de Qaddisa” (Ekaristi/Perjamuan Kudus) yang meneruskan ibadah Hag, maupun “Salat tujuh waktu” non-sakramental, dapat dilacak asal-usulnya dari Siddur Yahudi.

Kata bahasa Aram Tselota merupakan nomen actionis, yang berarti “ruku’” atau “perbuatan membungkukkan badan”. Dari bentuk kata Tselota inilah, bahasa Arab melestarikannya menjadi kata Salat.

Mar Ignatius Ya’qub III dari gereja Ortodoks menekankan bahwa orang Kristen hanya “melanjutkan adab yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa Timur lainnya ketika memuji Allah dalam praktik ibadah mereka” (taba’an lamma kana yaf’alahu al-Yahudi wa ghayrihim fii al-syariq fii atsna’ mumarasatihim al ‘ibadah). Dan perlu dicatat bahwa, “pola ibadah ini telah dilestarikan pula oleh umat Muslimin” (wa qad iqtabasa al-Muslimun aidhan buduruhum hadza al-naun min al ‘ibadah).

Selain dari itu, gereja mula-mula juga meneruskan adab ‘Tilawat Muzamir’ (yaitu bagian-bagian Kitab Zabur/Mazmur) dan salat-salat yang ditentukan pada jam-jam ini (wa qad akhadzat ba’dha al-Kana’is ‘an Yahudu tilawat Muzamir wa shalawat mu’ayyanat fii hadzihis sa’ah).

Alkitab mencatat kebiasaan nabi Daniel berkiblat “ke arah Yerusalem, tiga kali sehari ia berlutut dengan kakinya (ruku’) mengerjakan salat” (Daniel 6:11, dalam bahasa Aram: “negel Yerusyalem, we zimnin talatah be Yoma hu barek ‘al birkohi ume Tsela” ).

Seluruh umat Yahudi sampai sekarang berdoa dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Beyt ham-Miqdash), di kota suci Yerusalem. Sinagoge-sinagoge Yahudi di luar Tanah Suci mempunyai arah kiblat (Mizrah) ke Yerusalem. Kebiasaan ini diikuti oleh umat Kristen mula-mula, tetapi mulai berkembang beberapa saat setelah tentara Romawi menghancurkan Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 M.

Kehancuran Bait Allah membuat arah kiblat salat Kristen menjadi ke arah Timur, berdasarkan Yohanes 4:21, Kejadian 2:8, Yehezkiel 43:2 dan Yehezkiel 44:1. Kiblat ibadah ke arah Timur ini masih dilestarikan di seluruh gereja Timur, baik gereja-gereja Ortodoks yang berhaluan Kalsedonia (Yunani), gereja-gereja Orthodoks non-Kalsedonia (Qibtiy/Koptik dan Suriah), maupun minoritas gereja-gereja Nestoria yang masih bertahan di Irak.

Pada Gereja Ortodoks Syria, setiap salat terdiri dari tiga rakaat (satuan gerakan). Pada rakaat pertama hanya dilakukan qiyam (berdiri). Pada rakaat kedua dilakukan rukuk, dan sujud. Pada saat rukuk dan sujud ini dilakukan gerakan tanda salib. Dan, doa yang digunakan dalam bahasa Arab, Aram, Yunani, dan Ibrani.

Lalu dibacakan pujian (qari’ah) yang dikutip dari kitab Mazmur. Pada rakaat ketiga dilakukan pembacaan kanun al imam, semacam pengakuan kepada Tuhan (syahadat) yang dikenal dalam Gereja Ortodoks. (red)

%d blogger menyukai ini: