Riwayat Perjalanan Mistis Kiai Ibrahim Tunggul Wulung
CMN 101 – Konon menurut Babad Kediri, dahulu kala Raja Jayabaya memerintah di Kerajaan Kediri dia mempunyai 2 abdi terpercaya. Yang satu bernama Kyai Daha dan yang lainnya bernama Kiai Daka. Kiai Daha dijadikan patih yang setia dengan nama Buta Locaya. Kyai Daka dijadikan senopati perang unggulan dengan nama Tunggul Wulung.
Kala Raja Jayabaya muksa, kedua abdi itu pun juga turut muksa dengan tugas yang berbeda. Buta Locaya ditempatkan untuk berjaga-jaga di Selabale, sementara Tunggul Wulung ditugaskan untuk menjaga kawah Gunung Kelud supaya letusannya tidak banyak merusak desa-desa sekitar.
Menurut legenda yang berkembang, kelak Raja Jayabaya akan datang kembali, karena itu Tunggul Wulung bertugas untuk mempersiapkan kedatangannya. Sebuah keyakinan mesianik yang berakar kuat di kalangan orang Jawa.
Kisah melompat ke tahun 1840an. Tersebutlah sebuah nama bernama Kiai Ngabdullah, berumur sekitar 40 tahun. Dilahirkan dari keluarga priyayi di Juwana, Jepara, dia adalah seorang pamong praja di Jawa Tengah sekaligus seorang murid pesantren. Tampaknya atmosfer penjajahan ditambah dengan suasana keagamaan saat itu menghasilkan pergumulan batin di hati Kiai Ngabdullah.
Pada tahun 1847, pergulatan batin ini membawanya kepada “laku ngelmu” ke arah timur dan selanjutnya mendaki Gunung Kelud untuk bertapa. Laku ngelmu ini tentu saja tidak melulu bermakna magis atau mistis, tapi juga bermakna filosofis karena dalam melakukannya Kiai Ngabdullah berusaha menangkap pelajaran hidup dari semua orang, guru dan kyai yang dia jumpai.
Dalam perjalanan pendakian, Kiai Ngabdullah bertemu dengan Endang Sampurnawati, seorang puteri bangsawan Kediri yang ternyata juga melakukan ziarah spiritual yang sama. Mereka sempat beradu ilmu filsafat dengan masing-masing menyodorkan sebuah teka-teki. Endang memberikan teka-teki, ana kemiri tiba saiki kena dijupuk dhek wingi, sedangkan Kyai Ngabdullah memberikan teka-teki, Ratu Adil mertamu, tamu mbagekake kang didayohi, sebiting tanpa sangu.
Teka-teki itu membuka diskusi di antara mereka tentang harapan akan Ratu Adil, sebuah konsep yang berkembang di dalam masyarakat Jawa. Akhir cerita mereka kemudian memutuskan untuk menjadi suami isteri dan bersama-sama bertapa di Gunung Kelud untuk bersama-sama merenungkan filosofi kehidupan.
Demikianlah, selama 7 tahun akhirnya mereka berdua melakukan perenungan di Gunung Kelud. Karenanya Kyai Ngabdullah sempat dipanggil orang-orang sekitar kaki Gunung Kelud sebagai Ki Ajar Gunung Kelud, seorang guru filsafat kehidupan dari lereng Gunung Kelud.
Di gunung inilah Kiai Ngabdullah menghabiskan waktunya untuk bertapa dan juga merenungkan semua filsafat kehidupan, dari filosofi Hindu, Budha, kejawen, Islam maupun filosofi Kristen yang saat itu sudah banyak diterima oleh masyarakat Jawa. Dari renungannya tersebut lahirlah karya Serat Dharmogandul, sebuah karya ilmiah khas Jawa berisi analisis tajam mengenai sejarah jawa dan kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat Jawa.
Konon, pada tahun 1847, Kiai Ngabdullah menerima sebuah wangsit berupa tulisan “sepuluh perintah Allah kepada Musa” yang tanpa disadarinya telah muncul di bawah tikar semedinya. Memparalelkan dirinya sebagai Tunggul Wulung yang diutus untuk mempersiapkan kedatangan Raja Jayabaya, sejak itu Kiai Ngabdullah menemukan keyakinan bahwa dia juga diutus oleh Gusti Allah untuk menyebarkan lelaku hidup baru di kalangan masyarakat Jawa. Sejak itulah Kiai Ngabdullah berganti nama menjadi Kiai Tunggul Wulung.
24 Januari 1851, Gunung Kelud meletus dengan hebatnya, memuntahkan lahar dan lava yang mampu merusak desa-desa di bawahnya. Bagaimana dengan Kiai Tunggul Wulung? Sebelum meletus, dia sudah mendapatkan wangsit baru dari Gusti Allah untuk segera turun gunung supaya bisa menjelaskan iman barunya itu kepada orang-orang Jawa yang dia temui lalu pergi ke Mojowarno, sebuah desa dengan penduduk mayoritas Kristen Jawa saat itu.
Demikianlah Kiai Tunggul Wulung memulai perjalanan syiarnya di desa-desa sehingga mulai terbentuk kelompok-kelompok kecil Kristen di daerah Kepanjen dan Penanggungan dekat Malang. Kemudian dia menuju Mojowarno untuk bertemu dengan pendeta J.E. Jelesma dan kemudian dibaptiskan dengan nama baptisan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Dia mendapatkan sebuah kitab suci berbahasa Jawa terjemahan Dr. Bruckner dari Jelesma.
Menariknya, Kiai Tunggul Wulung kemudian kembali ke Jawa Tengah untuk menjadi seorang mubalig Kristen Jawa. Dia berhasil mewujudkan rasa nasionalisme dengan membentuk perkumpulan Kristen Jawa yang terpisah dengan Kristen Landa (Kristen Belanda). Dia dengan bangganya menunjukkan bahwa seorang Kristen Jawa itu sama martabatnya dengan seorang Kristen Belanda, karena itu dia selalu berdiri ketika harus berbicara dengan orang-orang Belanda. (red)