NEWS

Prasasti Kinewu, Manuskrip Pembebasan Pajak Peradaban Masa Lalu

CMN 101 – Keberadaan Prasasti Kinewu sempat ditulis dalam beberarapa dokumen purbakala pemerintah hindia belanda. Van Kinsbergen kemudian mendokumentasikannya dalam bentuk foto.

Dalam VOJ, menyebutkan bahwa prasasti tersebut berada di Pendopo Kabupaten Blitar (kini berpindah ke penataran dan berganti menjadi museum penataran) dengan nama Ganeca Beeld. Kemudian oleh JLA Brandes mengalihaksarakan prasasti ini dan diterbitkan tahun 1913 dalam OJO no. XXVI.

Prasasti memiliki ukuran Tinggi : 122 cm, Lebar : 60 cm, Tebal : 40 cm, hurufnya diukir dibelakang arca Ganesha, arca ganesha di gambarkan dalam sikap duduk utkutikasana diatas lapik berbentuk segi empat susun dua dan berhiaskan Padma, memakai mahkota kirita makuta.

Wajah berbentuk gajah, tangan kanan depan membawa gading, tangan kiri depan memegang mangkok (patra) sedang tangan kanan belakang membawa paracu (kapak) dan tangan kiri belakang membawa aksamala.

Arca memakai hiasan berupa anting-anting (kundala), kalung (hara), tali kasta upawita, kelat bahu (keyura), gelang tangan, ikat pinggul katibanda dan gelang kaki pada bagian belakang stella terdapat tulisan jawa kuna.

Huruf dan bahasanya mengunakan Jawa Kuno, prasasti ini menyebutkan bahwa pada tanggal 12 sulakpaksa (paroterang) bulan margasina tahun 829 Saka (12 November 907 M).

Sri Maharaja Rake Watu Kura Dyah Balitung Sri Iswara Kesawa Samarotungga memberikan anugrah kepada ratna (kepala desa) di Desa Kinwu berupa pembebasan pajak, karena ada keluhan dari mereka, sehingga tidak sanggup lagi menggarap sawah.

Arca ini memiliki lapik (dudukan arca), lapik ini ditemukan pada tahun 1956 di Dukuh Klampok, Desa Jiwut, Nglegok. Pada lapik ini terdapat juga tulisan jawa kuno, lapik ini berbentuk persegi dengan keempat sisinya terdapat tulisan jawa kuno dan sudah dialih aksarakan. Lapik tersebut sekarang tersimpan di museum penataran.

Prasasti Kinewu menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Sulakpaksa (paroterang) bulan margasina tahun 829 Saka (12 November 907 M). Sri Maharaja Rake Watu Kura Dyah Balitung Sri Iswara Kesawa Samarotungga memberikan anugrah kepada ratna (kepala desa) di Desa Kinwu berupa pembebasan pajak, karena ada keluhan dari mereka, sehingga tidak sanggup lagi menggarap sawah.

Mereka diwajibkan menyerahkan katik 28 orang dan gawai 8 masa. Mereka punya sawah luasnya 6 lamwit dan 3 tampah. Mereka lalu menghadap penguasa wilayah Randaman, Rakryan i Raņdaman pu Wama, untuk mohon izin meninjau kembali penetapan pajak atas sawah mereka.

Untuk mengajukan permohonan, para rama harus mengeluarkan biaya sebanyak 3 ķati (2,4 kg) dan 1 suwarna emas, seekor kerbau, masuya, 1 suwarna, 2 suwarna emas lagi yang diberikan kepada para juru semua. Sayangnya, sebelum memberi izin kepada para rama, Rakryan i Raņdaman keburu meninggal.

Maka para rama pun berencana menghadap raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Mereka lalu diantar oleh pratyaya dari daerah Randaman, yaitu Rake Hamparan dan Pu Batabwan dan San Dumba. Mereka pun menyampaikan permohonan peninjauan kembali penetapan pajak kepada raja lewat perantara seorang pejabat Samgat Momahumah i Mamrata pu Uttara.

Untuk permohonan kali ini para pejabat Desa Kinewu harus menyerahkan uang emas sebanyak 5 kati (4 kg) kepada raja dan lima orang rakryan, yaitu Rakryan i Wunkaltihan, Rakryan i Wka, Rakryan i Sorikan, Rakryan i Kalunwarak, dan Pamgat Tiruranu.

Sang raja mengabulkan permohonan mereka. Keluarlah keputusan Raja Balitung yang menetapkan para rama di Kinewu mempunyai sawah 6 lamwit dan harus menyerahkan jumlah pajak yang telah dikurangi, yaitu katik 12 orang dan gawai 6 masa. Adapun keputusan itu disaksikan oleh para panuran di kabandharyan. (red)

 

%d blogger menyukai ini: