Prasasti Kemuning, Jejak Sejarah Kerajaan Singhasari
MALANG – Dukuh Kemuning terletak di Desa Kranggan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang. Dahulu wilayah ini masuk Desa Sengguruh, Kecamatan Kepanjen. Dukuh ini berjarak sekitar 18 kilometer dari kota Kepanjen. Lokasi prasasti ini berada sekitar 200 meter di sebelah barat SDN Kranggan.
Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Pepunden Kemuning, atau Petilasan Mbah Suko. Prasasti ini dilaporkan oleh Dr. Frederik David Kan Bosch dalam “Oudheidkundig Verslag Van De Oudheidkundige Dienst In Nederlandsch Indie” tahun 1916.
FDK Bosch, atau juga sering dipanggil Frits Bosch, adalah seorang Kepala ‘Oudheidkundige Dienst’ atau Jawatan Purbakala, yaitu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mengelola bidang kepurbakalan. Tugas dari lembaga tersebut antara lain adalah menyusun, membuat daftar serta mengawasi peninggalan purbakala di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ‘Staatsblad Gubernur Jenderal’ tanggal 1 Maret 1874 Nomor 72 yang berlaku mulai 1 April 1874, menyatakan bahwa Karesidenan Pasuruan memiliki tiga Afdeling atau wilayah, yaitu Afdeling Pasuruan, Afdeling Bangil, dan Afdeling Malang. Desa Kranggan, termasuk Dukuh Kemuning di dalamnya, masuk distrik atau Kawedanan Kepanjen, Afdeling Malang.
Selain itu ada reruntuhan candi berbata merah, yoni (lingga dinyatakan hilang) dan arca lembu Nandi yang tersembunyi di bawah akar pohon beringin. Prasasti Kemuning ditemukan oleh Bosch pada Oktober 1916.
Bosch berusaha membaca prasasti Kranggan, namun prasasti batu itu sudah usang sehingga sulit diketahui isinya dengan jelas. Hanya angka tahunnya dapat dibaca oleh Bosch, yaitu 1178 Saka atau 1256 M.
Jika dicermati, tahun tersebut bertepatan dengan pemerintahan raja Wisnuwardhana dari kerajaan Singasari. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh rajamuda atau ‘Yuwaraja’ atau ‘Kumararaja’ Kertanegara. Mengingat di situs tersebut terdapat sebuah lingga dan yoni, diduga bangunan suci yang berhubungan dengan tempat tersebut adalah bangunan suci agama Hindu.
Pada tahun 1986 dilakukan inventarisasi terhadap prasasti Kemuning, antara lain prasasti tg. 137 cm, lb. atas 76 cm, lb. bawah 65 cm, dan tb. 24,5 cm. Lingga: tg. 44cm, lb. 13 cm, Ø. 15 cm. Yoni: tg. 36 cm, pj. 50 cm, lb. 50 cm. Kondisi yang dilaporkan tidak jauh berbeda dengan inventarisasi Bosch dalam ‘OV’ 1916.
Pada tahun 2008 dilakukan inventarisasi lagi terhadap situs Kemuning. Tercatat adanya prasasti, lingga-yoni, arca lembu yang terbelit akar pohon, serta banyaknya bata merah tebal dengan ukuran bervariasi antara 8 x 18 x 21 cm untuk bata dinding dan 11 x 21 x 32 cm untuk bata pondasi.
Dari temuan tersebut, daerah Kranggan secara fakta historis sudah dihuni oleh penduduk pada masa kerajaan Singhasari. Bahkan sebelum itu sudah ada penduduk yang tinggal menetap. Bukti adanya situs dan bangunan suci bersama prasastinya di Kemuning, menunjukkan bahwa desa Kranggan merupakan salah satu desa terpilih saat itu. Tidak mungkin pihak pemerintahan kerajaan mendirikan bangunan suci di tempat tersebut tanpa adanya alasan yang penting.
Sayang sekali isi prasasti tersebut tidak dapat dibaca. Kemungkinan isinya berkaitan dengan ‘Dharma Sima Swatantra’ atau daerah bebas pajak. Sebutan dharma sima swatantra terdapat pula dalam prasasti Mulamalurung yang satu tahun lebih awal dikeluarkan oleh raja Wisnuwardhana. Adapun isi prasasti Mulamalurung lempeng IV.b tahun 1177 Saka atau 1255 M, yang berkaitan dengan bangunan suci tanah perdikan di suatu tempat di “bumi sebelah timur Kawi,” oleh yang melaksanakan perintah, yaitu sang apanji Samaka, patih dari raja Kertanegara.
Kitab Negarakertagama pupuh 76 bait 3 yang digubah oleh Rangkwi Padelengan Dang Acarya Nadendra, yang kemudian dikenal dengan nama Mpu Prapanca, pada tahun 1365 Masehi, menyebutkan:
“lwirnin darmma kasogatan kawinayanu lpas i wipularama len kuti haji, mwan yanatraya rajadanya kuwunatha surayaca jarak / lagundi wadari, wewe mwan packan / pasarwwan i lmah surat i pamanikan / sranan / paniktan, panhapwan / damalan tpas / jita wannacrama jnar i samudrawela pamulun”
Artinya “Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak adalah Wipulahara, Kuta haji, Janatraya, Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi, serta Wadari, Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan, Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan Pamulang”
Desa-desa perdikan di seluruh wilayah Majapahit yang berada di sekitar ‘eks’ Singhasari sampai lereng timur Gunung Kawi, di antaranya adalah Jenar. Diduga Jenar yang berarti ‘kuning’ itu adalah Dukuh Kemuning sekarang.
Dalam kitab Nagarakretagama tulisan Mpu Prapanca pada tahun 1287 Saka atau 1365 M, dengan menyebutkan tempat-tempat desa perdikan di seluruh wilayah Majapahit. Pada pupuh 76 bait 3 disebut tempat-tempat suci di sekitar ‘eks’ Singhasari sampai lereng timur gunung Kawi, di antaranya yang lokasinya berderetan adalah Panghawan, Damalung, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela, Pamulang, Baryang, Amertawardani, Wetiwetih, Kawinayan, Patemon, serta Kanuruhan.
Panghawan dapat diidentifikasi yaitu daerah Mangliawan-Pakis, Damalung berada di tepi barat laut Singosari, Tepasjita berada di timur laut Kesamben-Blitar. Wanasrama diduga Mendalanwangi, karena Mendalan artinya adalah Wanasrama, Samuderawela dan Pamulang tidak dapat dilacak keberadaannya.
Kawiyanan adalah lereng Kawi sebelah utara, Patemon adalah desa Temu di Karangploso, Kanuruhan adalah daerah Dinoyo, dan kemudian Jenar. Jenar yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti Kuning, itu sekarang adalah ‘dukuh Kemuning’ yang memang terdapat sisa-sisa bangunan suci pada jaman kerajaan Singasari.
Prasasti yang sekarang berdiri di atas gundukan tanah sepanjang 2 meter x 3 meter dengan ketinggian setengah meter yang mirip dengan makam itu disebut ‘Petilasan Mbah Suko’. Sedangkan di sebelah tempat tersebut terdapat pohon yang tidak terlalu besar yang dipagari pagar berwarna hijau dan batu bata pendek berukuran 1 x 1 meter disebut ‘Petilasan Mbah Mintorogo’.
Tinggalan purbakala di situs ini hanya berupa beberapa fragmen bata merah yang dijadikan pagar pembatas lalu disemen. Sedangkan tempat yoni yang disemen di atas gundukan permukaan tanah dengan lebar 1,5 x 1,5 meter dan tinggi setengah meter disebut ‘Sopi Angin’. Sayang lingga yang seharusnya berada di atasnya hilang.
Di sisi barat situs terdapat area berisi pohon beringin besar yang melilit sebuah arca ‘Lembu Nandini’. Masyarakat sekitar menyebut arca tersebut ‘Patung Lembu Suro’. Sayang arca tersebut terlilit hampir seluruhnya oleh akar pohon beringin sehingga yang tampak hanya sebongkah batu besar dari celah-celah akar.
Masyarakat sekitar percaya penunggu arca tersebut akan marah, jika ada penduduk memelihara sapi dari luar Jawa. Hal ini pernah terjadi ketika penduduk memelihara sapi non-Jawa yang akhirnya banyak yang mati.
Di sisi lain di sekitar Prasasti Kemuning tersebut terdapat sebuah makam yang dijadikan punden desa yang disebut ‘Makam Tunjungsari’. Dipercaya bahwa di makam ini disemayamkan tokoh utusan dari Mataram zaman Sultan Agung untuk tinggal dan menetap di sana. (red)