NEWS

Jejak Legenda Ular Putih di Pagoda Lei Feng

CMN 101 – Kota Hangzhou, ibukota Provinsi Zhejiang yang permai di bilangan delta Sunga Yangtze, pesisir timur negeri China, belumlah lengkap jika tidak menyempatkan diri mendatangi Xi Hu (Danau Barat/West Lake) dengan Pagoda Leifengnya yang terkenal sebagai penjara Bai Suzhen, sang Ular Putih dalam White Snake Legend yang sangat terkenal di Indonesia menyusul penayangan serial TV-nya di TV swasta Indonesia pada era 1990-an. Hangzhou memang adalah sebuah kota kuno dengan sejarah sepanjang ribuan tahun.

Catatan paling awal tentang Hangzhou berangka tahun 589 M. Kota ini terus berkembang hingga menjadi ibukota kerajaan Wuyue (907 ~ 978 M) pada jaman 5 Dinasti – 10 Kerajaan. Pada tahun 1132 M, Hangzhou menjadi ibukota Southern Song Dynasty. Meskipun sempat hancur akibat serbuan Kubilai Khan dari Mongol (1276 M), Hangzhou tetap menjadi kota penting yang makmur dengan penduduk yang terus bertambah di pesisir Timur China.

Petualang dari Venesia, Marco Polo, diperkirakan pernah menyinggahi Hangzhou pada akhir abad ke-13. Ia mencatat kota ini sebagai ‘the greater than any in the world’. Ibnu Batuta, petualang dari Maroko pada abad ke-14 juga pernah tiba di kota ini. Ia menyebut Hangzhou ‘the biggest city I’ve ever seen on the face of the earth’.

Pagoda Leifeng memang tak bisa dipisahkan dari Legenda Ular Putih. Bangunan 5 tingkat ini berbentuk segi delapan (oktagon). Pagoda Leifeng tercatat telah dibangun sejak tahun 975 M, pada masa ‘5 Dinasti – 10 Kerajaan’, tepatnya pada pemerintahan Kaisar Qian Chu dari Wuyue. Pagoda ini awalnya didirikan sebagai peringatan atas kelahiran Huang Fei, putera Qian Chu, dengan konstruksi menara dari batu bata dan rangka kayu, dan pondasi dari batu bata.

Pada masa Dinasti Ming, bajak laut dari Jepang menyerang Hangzhou. Mengira bahwa di Pagoda Leifeng tersimpan senjata dan amunisi, bajak laut itu membakar pagoda. Akibatnya, rangka kayu pagoda hangus, meninggalkan hanya dinding bata yang rawan bahaya runtuh. Belakangan, timbul anggapan takhayul bahwa batu bata dari pagoda ini dapat menyembuhkan segala penyakit. Akibatnya, orang-orang mengambil batu bata pagoda ini dan menggerindanya menjadi serbuk untuk keperluan obat-obatan tersebut.

Karena terus-menerus dipreteli, pagoda ini akhirnya benar-benar runtuh pada suatu sore tanggal 25 September 1924. Ketika itu pun sebenarnya berkembang isu akan adanya ruang bawah tanah berisi harta karun di dasar pagoda. Isu ini terus menjadi misteri hingga akhirnya teknologi detektor radar digunakan untuk eksplorasi, dan pada tanggal 11 Maret 2001, ternyata benar-benar ditemukan ruang bawah tanah berisi banyak artefak. Di antara artefak tersebut, yang diangap paling penting adalah artefak rambut Buddha berlapis emas dan perak.

Upaya rekonstruksi Pagoda Leifeng dimulai sejak Oktober 1999, ketika pemerintah setempat memutuskan untuk membangun ulang pagoda baru tepat di atas reruntuhan pagoda lama. Bentuk pagoda baru ini diupayakan setepat mungkin dengan gambar dan deskripsi pagoda lama. Pagoda Leifeng baru akhirnya diresmikan pada 25 Oktober 2002.

Namun berbeda dengan konstruksi pagoda lama, pagoda baru ini jauh lebih kuat dengan konstruksi tulangan 1400 ton baja dengan perkuatan struktur 200 ton tembaganya. Untuk naik ke atas pagoda, disediakan 2 buah lift. Turun ke bawah kita bisa melewati tangga biasa untuk menjelajah tingkat demi tingkatnya. Ruangan dalam pagoda baru ini full AC. Namun demikian, ruang bawah tanah pagoda dibiarkan apa adanya seperti kondisi asli ketika ditemukan. Artefak-artefak yang ditemukan di ruang bawah tanah ini dipamerkan pula di lemari-lemari kaca di tingkat dasar ini.

Yang menarik dari pondasi batu bata asli pagoda lama ini adalah serakan uang koin dan kertas RMB. Rupanya banyak wisatawan lokal yang melemparkan uang ke situs ini dengan harapan-harapan beroleh keuntungan dan banyak rejeki. Bagian dalam atap pagoda tampak berwarna keemasan. Terkesan agung dan grande. Di bawah langit-langit pagoda itu banyak terdapat lukisan Budha dan perjalanan hidupnya.

Diorama ular putih ini berisi kisah White Snake Legend yang diukirkan pada 8 buah blok kayu, masing-masing blok berisi penggalan kisah utama yang ditempatkan pada kedelapan sisi pagoda. Diorama itu diukir dengan sangat halus. Detilnya betul-betul tampak nyata. White Snake Legend, atau dikenal juga sebagai Madame White Snake, adalah sebuah kisah yang hidup dan diceritakan turun-temurun di seantero Tiongkok, jauh sebelum kisah ini akhirnya ditulis oleh Feng Menglong (jaman Dinasti Ming) dengan jusul The White Maiden Locked for Eternity in the Leifeng Pagoda. Di jaman modern, kisah ini telah dibawakan dalam bentuk opera, film, dan tentunya serial TV.

Di Indonesia, kisah ini sangat terkenal ketika ditayangkan dalam bentuk serial TV oleh SCTV pada tahun 1993. Ketika itu Bai Suzhen diperankan oleh Angie Chiu dan Xu Xian oleh Cecilia Yip (keduanya aktris). Legenda ini dimulai ketika Lu Dongbin, seorang di antara 8 Manusia Abadi, menyamar menjadi penjual tangyuan (sejenis kue tradisional China) di Jembatan Patah dekat Xi Hu, Hangzhou. Seorang anak laki-laki bernama Xu Xian (dibaca Si Sien) membeli tangyuan darinya, dan merasa heran karena setelah memakan tangyuan itu ia tidak merasa lapar lagi bahkan setelah 3 hari. Xu Xian yang ingin kembali ‘normal’ kemudian menanyakan hal ini kepada Lu Dongbin.

Lu Dongbin tertawa dan kagum dengan kejujuran Xu Xian, sehingga ia mengajak Xu Xian kembali ke Jembatan Patah sambil menjelaskan bahwa tangyuan yang ia makan sebenarnya adalah pil keabadian. Xu Xian yang tetap ingin kembali ‘normal’ kemudian diceburkan oleh Lu Dongbin ke dalam danau sehingga beberapa butir tangyuan yang dimakannya keluar ke air danau.

Tanpa diketahui oleh mereka berdua, di dalam air danau Xi Hu yang tenang itu ternyata ada seekor siluman ular putih yang tengah berlatih Tao agar menjadi abadi. Ular putih itu menelan tangyuan yang dikeluarkan Xu Xian, dan memperoleh kekuatan sihir setara 500 tahun latihan.

Ular putih itu merasa amat berterima kasih pada Xu Xian, dan nasib mereka pun menjadi berjodoh. Namun ternyata selain ular putih, ada pula seekor siluman kura-kura yang saat itu juga tengah berlatih di dalam danau Xi Hu. Ia tak dapat menelan sebutir tangyuan pun karena semua sudah didahului oleh siluman ular putih yang bergerak lebih lincah. Siluman kura-kura itu menjadi amat iri dan benci pada sang ular putih.

Suatu hari, ular putih melihat seekor ular hijau ditangkap oleh pengemis yang melintas di Jembatan Patah. Pengemis itu hendak menjual si ular hijau. Merasa iba, ular putih berubah menjadi seorang wanita dan membeli ular hijau tadi dari sang pengemis, lalu membebaskannya. Siluman ular hijau tadi berterima kasih pada ular putih, dan menjadikan sang ular putih ‘kakak’.

18 tahun kemudian, pada Perayaan Qingming di tengah gerimis, ular putih dan hijau berubah menjadi 2 orang wanita muda, masing-masing dengan nama Bai Suzhen (dibaca Pai Sucen) dan Xiaoqing (dibaca Siaocing). Mereka berpapasan dengan Xu Xian yang telah menjadi tabib di Jembatan Patah. Karena hujan, Xu Xian meminjamkan payungnya pada kedua wanita itu. Xu Xian dan Bai Suzhen pun jatuh cinta dan akhirnya menikah. Mereka kemudian membuka toko obat-obatan di Zhenjiang dan hidup bahagia.

Pada saat itu, siluman kura-kura yang memendam dendam pada ular putih telah menghimpun cukup energi untuk berubah menjadi manusia. Ia pun berubah wujud menjadi pendeta Budha bernama Fahai. Karena dendamnya, Fahai ingin memisahkan Xu Xian dan Bai Suzhen. Fahai mendekati Xu Xian dan berkata padanya bahwa istrinya sebenarnya adalah siluman ular putih. Sebagai bukti, ia menyuruh Xu Xian untuk meminumkan arak pada Bai Suzhen saat Perayaan Duanwu tiba.

Setelah meminum arak, Bai Suzhen yang mabuk berubah wujud kembali menjadi ular putih raksasa. Xu Xian terbangun esok paginya mendapati istrinya berwujud ular putih raksasa seperti perkataan Fahai, ia pun tewas saking terkejutnya.

Bai Suzhen dan Xiaoqing kemudian menempuh bahaya ke Gunung Emei untuk mencuri ramuan ajaib guna menghidupkan Xu Xian kembali. Setelah berhasil mendapatkan ramuan ajaib dan menghidupkan kembali Xu Xian, Xu Xian ternyata tetap mencintai Bai Suzhen, walaupun kini ia telah mengetahui rahasia istrinya dan Xiaoqing.

Fahai yang dengki berusaha lagi memisahkan keduanya. Kali ini ia menculik Xu Xian dan memenjarakannya di Kuil Jinshan. Demi untuk mengalahkan Fahai dan membebaskan Xu Xian, Bai Suzhen dan Xiaoqing berupaya menenggelamkan kuil itu dengan kekuatan mereka. Sayang seribu sayang, banyak pula orang tak bersalah menjadi korban tenggelam akibat banjir yang mereka timbulkan. Juga karena Bai Suzhen ternyata tengah mengandung anak Xu Xian, kekuatannya tak cukup untuk mengalahkan Fahai. Upaya mereka berdua pun gagal.

Xu Xian kemudian berhasil meloloskan diri dari Kuil Jinshan dan kembali bersatu dengan keluarganya di Hangzhou, tepat ketika Bai Suzhen melahirkan putera mereka, Xu Mengjiao. Fahai yang tetap tidak terima menyusul Xu Xian, mengalahkan Xiaoqing dan Bai Suzhen yang tak berdaya setelah melahirkan, lalu memenjarakan sang ular putih di Pagoda Leifeng. Xiaoqing yang terluka terpaksa melarikan diri agar tak turut dipenjarakan pula oleh Fahai. Xu Xian membesarkan putera mereka, Xu Mengjiao, dalam hari-hari yang penuh nestapa.

20 tahun kemudian, Xu Mengjiao berhasil melewati ujian kekaisaran sebagai lulusan terbaik (zhuangyuan). Pada saat yang sama, Xiaoqing yang ternyata terus berlatih, kembali ke Kuil Jinshan untuk melawan Fahai. Kali ini Fahai berhasil dikalahkan. Fahai melarikan diri dengan cara bersembunyi di dalam perut kepiting. Kata orang, perut kepiting berwarna oranye karena pengaruh kain/jubah (kasaya) Fahai yang juga berwarna oranye. Xiaoqing membebaskan Bai Suzhen dari Pagoda Leifeng. Mereka pun akhirnya kembali bersatu sebagai keluarga di Hangzhou. (red)

 

 

%d blogger menyukai ini: