NEWS

Jaran Goyang, Antara Misteri, Mistis dan Mitos

CMN 101 – Jaran Goyang adalah salah satu bagian dari sastra lisan yang berupa mantra. Mantra berjenis pengasihan ini berkembang di masyarakat Suku Osing di Banyuwangi, Jawa Timur. Tidak hanya berkembang di Jawa Timur, mantra ini juga terdapat di Jawa Barat. Nama lain dari jenis mantra ini di antaranya adalah pengasihan dan pelet. Mantra ini erat kaitannya dengan ilmu gaib, metafisik, dan dunia paranormal.

Suku Osing mempercayai adanya empat ilmu, yakni ilmu merah, ilmu kuning, ilmu hitam, dan ilmu putih. Ilmu merah berkaitan dengan perasaan cinta, ilmu kuning mengenai jabatan, ilmu hitam untuk menyakiti, dan ilmu putih untuk menyembuhkan. Jaran Goyang ini termasuk kategori ilmu merah atau dikenal dengan nama santet.

Santet merupakan akronim dari “mesisan gantet” yang berarti sekalian bersatu atau bisa juga “mesisan bantet” atau sekalian rusak. Pengertian ini merujuk pada fungsi sosial mantra santet Jaran Goyang. Mantra ini bukanlah ilmu untuk menyakiti atau membunuh, melainkan untuk menyatukan dua orang agar bisa menikah atau memisahkan kedua orang yang mencintai agar bisa menikah dengan pasangan pilihan keluarganya.

Ada mitos yang berkembang mengenai mantra Jaran Goyang. Ketika Kerajaan Blambangan diambang kehancuran, rakyatnya terpisah-pisah. Agar keturunan tidak tercampur, mereka menikah dengan dasar kekerabatan. Namun, di antara mereka, ada yang tidak mau dijodohkan atau tidak direstui keluarga. Mantra Jaran Goyang kemudian berfungsi untuk menyatukan mereka.

Selain Jaran Goyang, ada beberapa mantra lain yang berkaitan dengan ilmu pengasihan, seperti Kucing Gorang dan Kebo bodoh. Binatang liar yang menjadi binatang peliharan sering kali digunakan sebagai nama-nama mantra ilmu merah yang berkaitan dengan asmara. Begitu juga dengan nama Jaran Goyang yang diambil dari perilaku kuda yang sulit dijinakkan. Namun, jika sudah jinak, kuda dapat dikendalikan. Hal ini dianalogikan dengan perasaan cinta seseorang. Kata Jaran Goyang jika diartikan secara langsung adalah kuda goyang. Korban terbanyak dari mantra Jaran Goyang ini adalah perempuan dibandingkan laki-laki.

Tari Jaran Goyang merupakan tari pergaulan. Tarian ini menceritakan seorang pemuda yang mencintai seorang gadis. Namun sayangnya, pemuda itu mendapat penolakan atau bertepuk sebelah tangan karena gadis itu tidak mempunyai perasaan cinta terhadapnya. Pemuda itu pun merapalkan mantra Jaran Goyang lalu melempar bunga kepada sang gadis agar dapat jatuh cinta dan tergila-gila padanya.

Sejalan dengan perkembangan zaman, tarian Jaran Goyang pada saat ini mengalami perubahan. Para penarinya kini terdiri atas dua orang, yaitu laki-laki dan perempuan. Pada masa lalu, Jaran Goyang ditarikan banyak orang walaupun ada dua penari utama. Masyarakat Banyuwangi, khususnya Osing, tidak menutup diri dengan perubahan budaya. Percampuran budaya, baik dari dalam maupun dari luar pun diterima untuk menghadirkan budaya baru yang disesuaikan dengan zaman.

Ciremai atau Ceremai adalah nama gunung yang berada di tiga wilayah, yakni Kabupaten Cirebon, Kuningan, dan Majalengka, Jawa Barat. Ceremai juga menyimpan banyak mitos dan legenda mistis. Salah satunya adalah legenda Nini Pelet. Kisah ini sudah menjadi bagian tradisi lisan masyarakat sekitar gunung. Berdasarkan sastra lisan, Gunung Ceremai merupakan singgasana kerajaan Nini Pelet.

Nini Pelet ini merupakan tokoh yang memiliki kesaktian khusus di bidang percintaan. Dia diceritakan merebut kitab “Mantra Asmara” milik Ki Buyut Mangun Tapa. Kitab tersebut memuat salah satunya ilmu Jaran Goyang, yang dikenal kegunaannya untuk mengikat hati lawan jenis. Sementara itu, berdasarkan mitos yang berkembang, Ki Buyut Mangun Tapa adalah orang sakti yang merupakan pencipta ilmu “Jaran Goyang”. Dia konon dimakamkan di Desa Mangun Jaya, Blok Karang Jaya, Indramayu, Jawa Barat.

Masyarakat di sekitar makam pun mempercayai kehadiran seekor harimau siluman yang merupakan peliharaan Ki Buyut. Harimau itu sering muncul pada tengah malam, khususnya pada malam Jumat Kliwon dan Selasa Legi. Kisah Nini Pelet dan Ki Buyut Mangun Tapa ini menjadi populer ketika diangkat menjadi serial sandiwara radio pada tahun 1980-an. (red)

%d blogger menyukai ini: