NEWS

GKJW Mojowarno

JOMBANG – Beberapa kilometer dari pondok pesantren Tebuireng, pesantren terbesar di Jombang, terdapat sebuah desa yang pada masanya pernah menjadi pusat siar Kristen di Jawa Timur di masa kolonial, dan desa itu bernama Mojowarno.

Sebelum mengenal Mojowarno lebih lanjut, kisah akan dimulai dulu dari Ngoro, suatu desa di selatan Jombang yang menjadi titik awal penyebaran agama Kristen di Jawa Timur. Di sana, tersebutlah seorang mantan zinder hutan jati bernama Coenraad Laurens Coolen yang akhirnya menjadi tuan tanah di sana.

Coolen sendiri hanyalah orang Kristen awam, bukan pendeta ataupun penyebar agama. Namun pria keturunan Rusia-Jawa itu mencoba untuk mengajarkan agama Kristen kepada para pekerjanya. Apa yang dilakukan Coolen terbilang nekad karena pemerintah kolonial secara tegas melarang penyebaran Kristen di tengah pemeluk Islam karena dapat menimbulkan perselisihan.

Selama mengajarkan agama Kristen, Coolen menerjemahkan pengakuan iman rasuli, hukum sepuluh perintah tuhan, dan doa bapa kami ke dalam bahasa Jawa. Maka dari itulah ajaran Kristen ala Coolen seringkali bercampur dengan kepercayaan lokal.

Kemudian ada pengikut Coolen yang bernama Wiryoguno, seorang dalang berdarah Madura yang tersohor namanya di Sidoarjo dan Surabaya. Wiryoguno memiliki ketertarikan kuat akan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan sehingga tatkala ia mendapat wangsit untuk mendalami ilmu Musqab Gaib ia pun melakakun sebuah pencarian yang akhirnya mempertemukan Wiryoguno dengan Coolen di Ngoro.

Setelah bertemu dengan Coolen, ia melanjutkan pertemuan dengan Emde di Surabaya. Di sana ia dibaptis dan setelah itu nama Karolus kemudian dibubuhkan padanya. Wiryoguno bercita-cita untuk bisa membangun sebuah desa bersama keluarganya.

Hutan Kracil di dekat Ngoro menarik perhatian Wiryoguno. Setelah menerima izin membuka hutan dari residen Surabaya dan mengurus birokrasi di Mojokerto, Wiryoguno beranjak ke Dukuh Dagangan yang berada di dekat Hutan Kracil. Di dukuh itu, Wiryoguno bersua dengan rekan lamanya di Ngoro, Ditotaruno yang diusir oleh Coolen dari Ngoro.

Hutan Kracil yang luas itupun dibuka secara perlahan dan menjadi padukuhan baru. Oleh Wiryoguno, padukuhan itu diberi nama “Mojowarno”, diambil dari kata Mojo karena berada di dekat pusat kerajaan Majapahit dan “warno” karena penghuninya berasal dari beragam daerah dan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda.

Singkat cerita, pada 1850, Hutan Kracil yang angker itupun akhirnya berganti menjadi tiga desa makmur, yakni Mojowarno, Mojowangi dan Mojoroto. Tiga desa itu tumbuh sebagai desa agraris dengan membuat proyek seperti irigasi, bendung, dan jalan penghubung antar desa. Setelah berita pembukaan Hutan Kracil terdengar di telinga pemerintah kolonial, maka tiga desa tersebut diresmikan dengan Wiryoguno sebagai Bau Aris atau koordinator kepala desa.

Tiga desa yang didirikan oleh orang Jawa Kristen itu menarik orang Kristen Jawa di tempat lain seperti Paulus Tosari, Yakobus Singotruno, Simon Suryo, dan lain-lain yang ada di Sidokare, Sidoarjo. Pendatang baru ini diterima dengan baik oleh Wiryoguno dan mereka dipersilahkan untuk membuka hutan.

Hutan-hutan itupun akhirnya menjadi tiga desa baru, yakni Mojodukuh, Mojokembang, dan Mojojejer. Enam desa ini kemudian membentuk kesatuan jemaat yang bernama jemaat Mojowarno.

Tahun 1851, tibalah di Mojowarno, seorang pengabar Injil kelahiran Frieslan, Belanda. Namanya Jelle Eeltje Jellesma, pendeta yang oleh Nederlands Zending Genootschap ( NZG ) ditugaskan ke Jawa Timur. Saat Jelessma tiba di Mojowarno, desa itu dipimpin oleh Kyai Abisai Ditotaruno.

Jumlah jemaatnya sudah mencapai 244 orang, angka yang besar untuk sebuah desa pelosok. Selain mengajarkan Kristen, Jellesma juga membuka sekolah. Sayangnya tugas Jellesma di Mojowarno berlangsung singkat karena ia keburu meninggal pada 1858.

Paulus Tosari, Pdt. Hoezoo, dan Pdt. Kruyt senior, mereka adalah pengganti Jellesma di Mojowarno yang dengan sabar mengajarkan Kristen di kalangan orang Jawa. Disemai sepenuh hati secara perlahan oleh penginjil Belanda dan Jawa, tunas Kekristenan di Jawa Timur itu mulai tumbuh.

Pendeta J. Kruyt tiba di Mojowarno pada 1864. Saat itu ia masih berusia 29 tahun. Cukup lama ia menjadi pendeta di Mojowarno, yakni dari tahun 1864 hingga ia meninggal pada tahun 1918. Oleh penduduk desa, J. Kruyt diangkat sebagai pemimpin desa. Wibawa dan sikap tegasnya membuat nasihat dari J. Kruyt selalu didengar dan dipatuhi oleh penduduk desa.

Tahun 1882, putra pendeta J. Kruyt, Ary Kruyt menyusul ayahnya di Mojowarno setelah menyelesaikan studi di Belanda. Laksana buah yang tak jatuh jauh dari pohonnya, Ary Kruyt juga seorang pendeta yang cakap mengurus jemaat. Keberhasilan di Mojowarno membuat mereka berdua diberi amanat yang lebih besar lagi, yakni mengasuh semua orang Kristen di Karesidenan Surabaya.

Gedung gereja GKJW Mojowarno adalah warisan kemandirian jemaat Mojowarno di masa lampau. Untuk mengatur jemaat yang semakin banyak, maka pada 1873 dibentuk majelis gereja. Sungguhpun jemaat Mojowarno adalah penganut Kristen yang taat, nyatanya mereka juga mahir dalam mengatur keuangan dan mengelola harta benda.

Keadaan semakin menguntungkan, karena tidak seperti di tempat lain, tanah pertanian sepenuhnya dikuasai oleh jemaat Mojowarno. Sejak tahun 1871, jemaat menghimpun tabungan untuk pembangunan gereja dengan membentuk lumbung persekutuan.

Para jemaat secara sukarela akan menyerahkan sebagian hasil panenan kepada lumbung persekutuan, lalu hasil panenan yang terkumpul dijual dan pendapatannya disimpan di De Javaasche Bank cabang Surabaya. Dana yang berhasil terkumpul sebesar 25.000 gulden.

Dengan uang yang terhimpun tersebut, pada 1879 mereka mendirikan gedung gereja Mojowarno yang tampilannya tak kalah megah dengan gedung gereja bikinan pemerintah kolonial yang ada di kota-kota besar.

Pembangunan gereja ini ditandai dengan upacara peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Christina Catarina Kruyt pada 24 Februari 1879 dan upacara tersebut diabadikan pada sebuah prasasti yang masih menempel di dinding gereja.

Gereja yang selesai dibangun tahun 1881 ini tak sekedar wujud ketaatan jemaat Mojowarno pada agama Kristen. Lebih dari itu, ia juga simbol kemakmuran Mojowarno berkat kemandirian jemaatnya.

Warisan budaya di Mojowarno selain bangunan-bangunan kunonya yang masih terpelihara, adalah tradisi riyaya unduh-unduh. Dengan latar belakang agraris, penduduk Mojowarno merupakan para petani yang masih menghormati tradisi Jawa, dimana sebagai bentuk Rasa syukur atas panen melimpah biasanya akan digelar upacara tertentu.

Agar tradisi leluhur dapat selaras dengan keyakinan mereka sekarang sebagai umat Kristen, maka digelarlah tradisi riyaya unduh-unduh sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat berupa hasil panen yang melimpah.

Setiap musim panen padi tiba, Mojowarno akan riuh dengan tradisi rutin tahunan tersebut, dimana berbagai penduduk dari berbagai latar belakang ras dan agama dapat menyaksikan tradisi riyaya unduh-unduh ini.

Saat upacara digelar, halaman gereja akan dipadati dengan gerobak hias yang mengangkut hasil bumi, makanan, dan hewan ternak yang nantinya akan didoakan. Setelah didoakan, barang-barang tersebut dilelang dan hasilnya digunakan untuk keperluan gereja. (red)

 

%d blogger menyukai ini: