Fakta Dibalik Sejarah Halloween
CMN 101 – Halloween atau Hallowe’en yang juga disebut sebagai All halloween, All Hallows’ Eve, atau All Saints’ Eve. Halloween adalah suatu perayaan yang dapat dijumpai di sejumlah negara pada tanggal 31 Oktober, yaitu malam Hari Raya Semua Orang Kudus (All Hallows’ Day) di Kekristenan Barat.
Perayaan tersebut mengawali peringatan trihari Masa Para Kudus (Allhallowtide), suatu periode dalam tahun liturgi yang didedikasikan untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia, termasuk para kudus atau santo/santa (saints, hallows), martir, dan semua arwah umat beriman.
Terdapat keyakinan luas bahwa banyak tradisi Halloween bermula dari festival-festival panen Kelt kuno yang mungkin memiliki akar-akar pagan, khususnya festival Samhain etnis Gael, dan festival tersebut dikristenkan sebagai Halloween. Sejumlah pihak lain meyakini bahwa Halloween bermula secara independen sebagai suatu perayaan Kristen semata, terpisah dari festival kuno seperti Samhain.
Kegiatan saat Halloween meliputi Trick or treat (penyamaran dengan kostum seram), menghadiri pesta kostum Halloween, mendekorasi, mengukir waluh menjadi Jack-o’-lantern, menyalakan api unggun besar, permainan ramalan atau penenungan, apple bobbing, bermain lelucon praktis, mengunjungi atraksi berhantu, menceritakan dongeng menakutkan, dan menonton film horor.
Di banyak belahan dunia, perayaan keagamaan Kristen saat Malam Para Kudus, misalnya menghadiri ibadah gereja dan menyalakan lilin pada makam, masih tetap populer, meskipun di tempat lain berlangsung perayaan yang lebih sekuler dan komersial. Beberapa umat Kristen secara historis berpantang daging pada Malam Para Kudus, suatu tradisi yang tercermin dengan makan makanan tertentu pada hari vigili ini, misalnya apel, panekuk kentang, dan kue jiwa.
Penggunaan kata Halloween atau Hallowe’en berawal pada sekitar tahun 1785 dan berasal dari Kekristenan. Kata “Hallowe’en” berarti “malam yang dikuduskan” atau “malam suci”, dan berasal dari suatu istilah Skotlandia untuk All Hallows’ Eve (Malam Para Kudus, yaitu malam sebelum Hari Raya Semua Orang Kudus).
Dalam bahasa Skot, kata “eve” adalah even, dan dipendekkan menjadi e’en atau een. Seiring berjalannya waktu, (All) Hallow(s) E(v)en berevolusi menjadi Hallowe’en. Frasa “All Hallows” ditemukan dalam bahasa Inggris Kuno, namun frasa “All Hallows’ Eve” tidak terlihat hingga tahun 1556.
Adat dan kebiasaan Halloween masa kini diperkirakan telah dipengaruhi kepercayaan dan adat istiadat masyarakat di negara-negara berbahasa Kelt, yang mana beberapa di antaranya diyakini memiliki dasar pagan. Jack Santino, seorang folkloris, menuliskan bahwa “di seluruh Irlandia terjadi suatu kesepakatan yang meresahkan antara adat istiadat dan keyakinan yang berhubungan dengan Kekristenan dengan semua hal terkait agama-agama Irlandia sebelum masuknya Kekristenan”.
Sejarawan Nicholas Rogers, saat menelusuri asal mula perayaan Halloween, mencatat bahwa meskipun “beberapa folkloris telah mendeteksi asal mulanya dalam perayaan Romawi kuno Pomona, dewi buah-buahan, atau dalam festival orang mati disebut Parentalia, namun perayaan tersebut secara lebih khusus dikaitkan dengan festival Kelt Samhain”, yang mana berasal dari bahasa Irlandia Kuno untuk “akhir musim panas”.
Samhain merupakan hari yang pertama dan terpenting dari keempat hari-hari kuartal dalam kalender Gaelik abad pertengahan dan dirayakan di Irlandia, Skotlandia, dan Pulau Man. Perayaan dilangsungkan pada atau sekitar tanggal 31 Oktober – 1 November dan suatu festival bagi kaum keluarga diselenggarakan pada waktu bersamaan oleh kaum Kelt Britonik disebut Calan Gaeaf di Wales, Kalan Gwav di Cornwall, dan Kalan Goañv di Bretagne.
Bagi kaum Kelt, hari dimulai dan diakhiri saat matahari terbenam, karenanya, berdasarkan perhitungan modern, festival dimulai pada petang hari menjelang tanggal 1 November. Samhain dan Calan Gaeaf disebutkan dalam beberapa literatur tertua dari Irlandia dan Wales.
Nama-nama tersebut telah digunakan oleh para sejarawan untuk merujuk pada adat istiadat Halloween Keltik sampai pada abad ke-19, dan hingga kini masih digunakan sebagai nama-nama Gaelik dan Wales untuk menyebut Halloween.
Samhain atau Calan Gaeaf menandai akhir musim panen dan awal musim dingin atau ‘paruh yang lebih gelap’ dari suatu tahun. Sama seperti Belatane atau Calan Mai, perayaan itu dilihat sebagai suatu waktu ambang, ketika batas antara dunia ini dan Dunia lain menipis.
Hal ini berarti Aos Sí, para ‘roh’ atau ‘peri’, dapat lebih mudah datang ke dunia ini dan pandangan ini sangat diyakini mereka. Kebanyakan akademisi melihat Aos Sí sebagai “versi-versi terdegradasi dari para dewa kuno yang mana pengaruhnya masih kuat di dalam benak masyarakat sekalipun telah secara resmi digantikan dengan keyakinan agama setelahnya”.
Aos Sí dihormati sekaligus ditakuti, bahkan orang-orang sering kali memohon perlindungan Allah ketika pulang ke tempat tinggal mereka. Saat perayaan Samhain, diyakini bahwa Aos Sí perlu ditenangkan untuk memastikan bahwa masyarakat dan ternak mereka dapat bertahan dalam musim dingin.
Persembahan makanan dan minuman, atau sebagian hasil panen, ditinggalkan di luar untuk Aos Sí. Jiwa-jiwa orang yang telah meninggal juga dikatakan mengunjungi kembali rumah mereka untuk meminta keramahtamahan.
Tempat-tempat telah diatur di meja makan dan dekat perapian untuk menyambut mereka. Keyakinan bahwa jiwa-jiwa orang yang telah meninggal kembali ke rumah pada suatu malam dalam setahun, dan harus ditenteramkan, tampaknya berasal dari tradisi kuno dan ditemukan dalam banyak budaya di seluruh dunia.
Di Irlandia abad ke-19, “lilin-lilin akan dinyalakan dan doa-doa secara resmi didaraskan bagi jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Setelah itu acara makan, minum, dan permainan akan dimulai”.
Di seluruh Irlandia dan Britania, perayaan dalam rumah tangga meliputi ritual dan permainan yang dimaksudkan untuk meramal masa depan seseorang, khususnya sehubungan dengan kematian dan pernikahan. Kacang-kacangan dan apel sering kali digunakan dalam ritual penenungan ini.
Ritual-ritual itu misalnya apple bobbing, menatap bola kristal atau cermin, menuangkan lelehan timbal atau putih telur ke dalam air, dan interpretasi mimpi. Api unggun besar yang istimewa dinyalakan dan berlangsung ritual-ritual yang melibatkannya.
Abu, asap, dan nyala apinya dianggap memiliki kuasa pembersihan dan perlindungan, dan juga digunakan untuk menenung. Di beberapa daerah, obor yang dinyalakan dari api unggun itu dibawa mengelilingi rumah dan kebun searah pergerakan matahari dengan harapan mendapat perlindungan.
Ada kesan bahwa api tersebut merupakan semacam sihir simpatik atau tiruan, sebagai tiruan Matahari, membantu “kekuatan pertumbuhan” dan menahan kerusakan serta kegelapan musim dingin. Di Skotlandia, permainan tenung dan api unggun ini dilarang oleh para presbiter gereja di sejumlah paroki.
Di kemudian hari api unggun ini digunakan untuk “menjauhkan diri dari iblis”. Sejak setidaknya abad ke-16, permainan sandiwara bisu dan penyamaran (guising) disertakan dalam festival tersebut di Irlandia, Skotlandia, Pulau Man, dan Wales.
Dalam permainan ini orang-orang berjalan dari rumah ke rumah dengan mengenakan kostum, dan biasanya melantunkan syair atau nyanyian untuk mendapatkan makanan. Itu mungkin dikarenakan pada awalnya merupakan suatu tradisi di mana orang-orang menyamar sebagai Aos Sí, atau jiwa-jiwa orang yang telah meninggal, dan menerima persembahan atas nama mereka, serupa dengan kebiasaan souling.
Menirukan makhluk-makhluk ini, atau mengenakan samaran, juga diyakini dapat melindungi diri sendiri dari mereka. Ada pendapat bahwa para pemain sandiwara bisu dan penyamar “menjelma menjadi roh-roh lama musim dingin, menuntut imbalan demi keberuntungan”.
Di beberapa bagian Irlandia selatan, para penyamar menyertakan kuda hobi. Seorang laki-laki berpakaian seperti Láir Bhán (kuda betina putih) dan memimpin anak-anak muda berkeliling dari rumah ke rumah untuk melantunkan syair, beberapa di antaranya mengandung nada-nada tambahan pagan, demi imbalan makanan.
Jika suatu rumah tangga menyumbangkan makanan maka mereka dapat mengharapkan keberuntungan dari ‘Muck Olla’ tersebut, jika tidak maka akan membawa kemalangan. Di Skotlandia, kaum muda pergi dari rumah ke rumah dengan topeng, wajah dicat atau dihitamkan, sering kali mengancam untuk melakukan kenakalan jika mereka tidak disambut dengan baik.
F. Marian McNeill berpendapat bahwa festival kuno yang melibatkan orang-orang dalam kostum tersebut mewakili roh-roh, dan wajah ditandai dengan abu yang diambil dari api unggun sakral. Di beberapa belahan Wales, laki-laki yang berpakaian seperti makhluk menakutkan disebut gwrachod.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, orang-orang muda di Glamorgan dan Orkney berlintas-busana. Di bagian lain Eropa, bermain sandiwara bisu dan kuda hobi merupakan bagian dari festival-festival tahunan lainnya.
Namun di daerah berbahasa Kelt “secara khusus cocok untuk suatu malam di mana para makhluk gaib dikatakan pergi mengembara dan dapat ditiru atau dihindari oleh para pengembara manusia”. Sejak setidaknya abad ke-18, “meniru roh-roh ganas” mengarah pada permainan lelucon di dataran tinggi Skotlandia dan Irlandia.
Mengenakan kostum dan bermain lelucon saat Halloween menyebar ke Inggris pada abad ke-20. Bagi yang bermain samaran dan lelucon di luar rumah pada waktu malam, sebagai penerangan tradisional di beberapa tempat digunakan lentera dari turnip atau mangelwurzel yang dilubangi dan sering kali diukir hingga berupa wajah aneh.
Oleh mereka yang membuatnya, lentera tersebut dikatakan mewakili roh-roh, atau digunakan untuk menangkal roh-roh jahat. Hal ini umum di sebagian dataran tinggi Skotlandia dan Irlandia pada abad ke-19, serta di Somerset.
Kemudian pada abad ke-20 menyebar ke bagian lain dari Inggris dan menjadi dikenal secara umum sebagai jack o’ lantern. Perkembangan penggunaan artefak dan simbol yang terkait dengan Halloween terbentuk seiring berjalannya waktu.
Menurut tradisi, jack o’ lantern dibawa oleh para penyamar untuk menakut-nakuti roh jahat. Ada suatu cerita rakyat populer di kalangan Kristen Irlandia sehubungan dengan jack o’ lantern, yang mana dalam folklor dikatakan merepresentasikan “jiwa yang ditolak masuk ke surga maupun neraka”.
Dalam perjalanan pulang ke rumah setelah minum-minum semalaman, Jack bertemu dengan Iblis dan menipunya hingga ia memanjat sebuah pohon. Jack yang berpikir cepat segera menggoreskan tanda salib pada kulit pohon, sehingga membuat Iblis terperangkap.
Jack menyambar dengan suatu pernyataan bahwa Setan tidak pernah dapat mengklaim jiwanya. Setelah suatu kehidupan yang dipenuhi dosa, kemabukan, dan tipu muslihat, Jack ditolak masuk ke surga ketika ia meninggal dunia.
Iblis menepati janjinya dengan menolak Jack masuk ke dalam neraka dan melempar sebuah bara api ke arahnya, langsung dari api neraka. Saat itu malam yang dingin, maka Jack menempatkan arang tersebut di sebuah turnip yang dilubangi untuk mencegahnya keluar, karena waktu itu Jack dan lenteranya telah mengembara mencari sebuah tempat untuk istirahat.
Menurut tradisi di Irlandia dan Skotlandia, turnip tersebut telah diukir atau dibentuk sebelum Halloween, namun para imigran di Amerika Utara menggunakan waluh setempat, yang mana lebih lunak dan lebih besar, sehingga lebih mudah diukir dibanding turnip. Tradisi mengukir waluh di Amerika tercatat tahun 1837 dan awalnya terkait dengan waktu panen pada umumnya, tidak secara khusus dikaitkan dengan Halloween sampai pada pertengahan hingga akhir abad ke-19.
Gambaran modern Halloween berasal dari banyak sumber, termasuk eskatologi Kristen, adat nasional, karya-karya Gotik dan sastra horor, serta film horor klasik. Citra tengkorak, yang mana merujuk pada Golgota dalam tradisi Kristen, berfungsi sebagai “suatu pengingat akan kematian dan sifat sementara kehidupan manusia”, dan karenanya ditemukan dalam komposisi memento mori serta vanitas, oleh sebab itu citra tengkorak menjadi biasa saat Halloween, yang mana bersentuhan dengan tema ini.
Secara tradisi, dinding belakang bangunan gereja “dihiasi dengan suatu penggambaran tentang Pengadilan Terakhir, lengkap dengan makam-makam yang terbuka dan bangkitnya orang mati, dengan suatu surga yang penuh dengan malaikat dan suatu neraka yang penuh dengan setan,” sebuah corak yang telah meresap ke dalam perayaan yang merupakan bagian dari rangkaian perayaan trihari ini.
Salah satu karya tertua tentang topik Halloween adalah dari penyair Skotlandia John Mayne, yang mana pada tahun 1780 membuat catatan mengenai lelucon saat Halloween; “What fearfu’ pranks ensue!” (Betapa menakutkannya lelucon-lelucon yang dibuat!) dan hal supranatural yang dikaitkan dengan malam tersebut, “Bogies” (hantu-hantu), memberi pengaruh pada “Halloween” (1785) karya Robert Burns.
Elemen-elemen musim gugur seperti waluh, kelobot jagung, dan orang-orangan sawah, juga lazim ditemui. Rumah-rumah sering kali dihias dengan jenis-jenis simbol ini sekitar masa perayaan Halloween.
Gambaran mengenai Halloween meliputi tema-tema kematian, kejahatan, dan monster-monster dalam mitos. Hitam, oranye, dan kadang-kadang ungu, merupakan warna-warna tradisional Halloween.
Trick-or-treating adalah suatu kegiatan yang biasa dilakukan anak-anak saat Halloween. Anak-anak pergi berkeliling dari rumah ke rumah dengan mengenakan kostum, mereka meminta diberikan sesuatu seperti permen, atau kadang-kadang uang, sambil mengajukan pertanyaan, “Trick or treat?” Kata “trick” mengacu pada “threat” (ancaman) yang berarti bahwa mereka akan melakukan kenakalan pada pemilik rumah atau propertinya jika tidak diberikan apa-apa.
Praktik tersebut dikatakan berakar dari praktik bermain sandiwara bisu (mumming) pada abad pertengahan, yang mana berkaitan erat dengan kebiasaan berbagi kue jiwa (souling). John Pymm menuliskan bahwa “banyak hari-hari raya yang berkaitan dengan pertunjukan drama mumming yang dirayakan oleh Gereja Kristen.”
Hari-hari raya ini misalnya Malam Para Kudus (All Hallows’ Eve), Natal, Malam Keduabelas, dan Selasa Pengakuan (Shrove Tuesday, Mardi Gras). Bermain sandiwara bisu dipraktikkan di Jerman, Skandinavia, dan belahan Eropa lainnya, orang-orang mengenakan kostum dan topeng serta “berpawai di jalan-jalan dan masuk ke rumah-rumah untuk menari atau bermain dadu dalam keheningan.”
Di Inggris, sejak masa abad pertengahan sampai tahun 1930-an, masyarakat mempraktikkan kebiasaan Kristen meminta-minta kue jiwa saat Halloween, dimana sekelompok anak-anak dan kaum miskin, baik umat Protestan maupun Katolik, pergi dari paroki ke paroki untuk meminta kue-kue jiwa pada kaum kaya, dengan imbalan doa bagi jiwa-jiwa para pemberi dan teman mereka.
Di Skotlandia dan Irlandia, menyamar (guising), yaitu anak-anak menyamarkan diri dengan mengenakan kostum sambil berkeliling dari rumah ke rumah demi mendapatkan makanan atau uang logam, merupakan suatu kebiasaan Halloween tradisional, dan tercatat di Skotlandia saat Halloween tahun 1895, di mana mereka yang bertopeng dalam penyamaran membawa lentera yang terbuat dari turnip yang dilubangi, mengunjungi rumah-rumah untuk mendapatkan kue, buah, dan uang.
Praktik menyamar saat Halloween di Amerika Utara pertama kali tercatat tahun 1911, di mana sebuah surat kabar di Kingston, Ontario melaporkan anak-anak yang melakukan guising di lingkungan sekitarnya.
Penulis dan sejarawan Amerika Ruth Edna Kelley dari Massachusetts menuliskan buku pertama yang berisi sejarah panjang Halloween di Amerika Serikat, The Book of Hallowe’en (1919), dan bercerita tentang souling dalam bab “Hallowe’en di Amerika”.
Dalam bukunya, Kelley menyinggung kebiasaan-kebiasaan yang datang dari seberang Atlantik: “Orang-orang Amerika telah memeliharanya, dan menjadikan ini suatu acara sebagaimana harusnya dalam hari-hari terbaiknya di seberang lautan. Semua kebiasaan Halloween di Amerika Serikat dipinjam langsung atau diadaptasi negara-negara lain”.
Referensi pertama tentang guising di Amerika Utara mencatat tahun 1911, sedangkan referensi lain tentang ritual meminta-minta saat Halloween memperlihatkan tahun 1915, di tempat yang tak diketahui, dengan referensi ketiga di Chicago pada tahun 1920. Penggunaan paling awal yang diketahui atas istilah “trick or treat” dalam media cetak memperlihatkan tahun 1927, di Blackie Herald Alberta, Kanada.
Ribuan kartu pos Halloween yang diproduksi saat pergantian abad ke-20 sampai tahun 1920-an menampilkan anak-anak, tetapi tanpa trick or treating. Kebiasaan ini tampaknya belum dipraktikkan secara luas sampai tahun 1930-an, kemunculan pertama istilah tersebut di Amerika Serikat tercatat pada tahun 1934, dan penggunaan pertama dalam suatu publikasi nasional terjadi pada tahun 1939.
Ada suatu varian populer dari trick-or-treating, yang dikenal dengan nama trunk-or-treating (atau Halloween tailgating), di mana “anak-anak ditawarkan suguhan (treat) dari bagasi (trunk) mobil yang diparkir di pelataran parkir gereja,” atau terkadang di pelataran parkir sekolah.
Dalam acara tersebut, bagasi masing-masing mobil dihias dengan suatu tema tertentu, misalnya peran kerja, kitab suci, film, dan bacaan anak. Trunk or treating telah berkembang popularitasnya karena dianggap lebih aman daripada pergi dari pintu ke pintu, suatu pokok yang diterima dengan baik oleh para orang tua, serta kenyataan bahwa perayaan tersebut “memecahkan teka-teki di daerah pedesaan di mana rumah-rumah dibangun terpisah setengah mil jaraknya”. (red)