Edith Stein, Dari Atheis Beralih Religius dan Berakhir Martir di Kamp Genosida NAZI
Oleh: Romo Manaek Martinus Sinaga, O.Carm
MALANG – Buku-buku berjudul “Leben in einer jüdischen Familie: Ihr unvollendeter autobiografischer Bericht” atau “Life in a Jewish Family: Her Unfinished Autobiographical Account”, “Zum Problem der Empathie” atau “On the Problem of Empathy”, “Essays über die Frau” atau “Essays on Woman”, dan lainnya, populer di kalangan filosofis modern.
Buku-buku tersebut ditulis Edith Stein, kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa, bahkan beberapa perguruan tinggi menjadikannya ‘literasi baku’. Edith Stein meninggal dunia (martir) berstatus biarawati Karmelit Tak Berkasut (OCD) dengan nama Teresa Benedikta.
Yang menarik, dalam buku hariannya (1941 – 1942) yang di tulis di Echt, Belanda, ia merasakan dekat sekali dengan kematian. Tulisannya menggambarkan kehidupan roh tanpa jasmani, kehidupan tanpa batas ruang maupun waktu, hingga kehidupan tanpa nafsu (tanpa tidur, makan, minum dan seksual).
Saat remaja, Edith Stein menyatakan dirinya seorang Atheis. Gejolak Perang Dunia I di benua Eropa, membuat Edith Stein tergerak hatinya untuk terjun membantu korban warga sipil, melalui organisasi Palang Merah. Di tahun 1915, Edith Stein bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit khusus penanganan penyakit menular.
Ia berbalik 180 derajat usai menemukan dan membaca buku-buku ‘Ordo Karamel’ tulisan St. Teresa dari Avila. Selanjutnya, ia berminat dibaptis (‘convert’ dari Atheis menjadi Katolik), usai malam pergantian tahun baru, tepatnya 1 Januari 1922 di Gereja Katolik Roma.
Propaganda Anti-Yahudi oleh Adolf Hitler di tahun 1930, semakin memanas, sekaligus menjadi ‘warning’ bagi Edith Stein menjadi biarawati Karmelit Tak Berkasut, lantaran ia seorang Yahudi. Upaya menutup identitas (Yahudi) Edith Stein, pihak Gereja Katolik Roma setempat memasukannya dalam jajaran pengajar Sekolah Katolik di Speyer (pengaburan identitas).
5 April 1933, diterbitkannya sertifikat ‘Arya’ melalui Undang-Undang Pemulihan Layanan Sipil Profesional oleh pemerintahan NAZI dibawah kepemimpinan Adolf Hitler, membuat kontrol semakin ketat. Campur tangan agen rahasia NAZI, menjadikan pihak Gereja Katolik Roma khawatir keselamatan Edith Stein, lalu ia disembunyikan, sekaligus tidak lagi berada dalam jajaran pengajar di Speyer.
Sebagaimana keinginan awalnya, Edith Stein akhirnya masuk biara ‘Karmelit Tak Berkasut’ di Koln pada Oktober 1933, usai dilepaskannya kontrol ketat tempat-tempat ibadah beserta sarana maupun prasarananya oleh NAZI. Selang waktu kemudian, tepatnya April 1934, Edith Stein menerima jubah biara ‘tarekat’ sebagai seorang ‘novis’, sekaligus berganti nama menjadi ‘Teresa Benedikta’.
Menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, pada September 1938, pihak Gereja Katolik Roma menugaskan Edith Stein bersama saudaranya yang bernama Rosa, pindah ke biara Karmel di Echt, Belanda (wilayah diluar jangkauan NAZI). Keduanya bertugas membantu warga sipil di sekitar biara, khususnya penanganan kesehatan.
Tahun 1940, NAZI menginvasi Belanda, namun aktifitas sosial Edith Stein maupun Rosa, tetap berjalan normal, lantaran perubahan identitas keduanya saat berada di Speyer (Edith Stein) dan Koln (Rosa). Situasi berubah 180 derajat, saat agen rahasia NAZI mulai bergerak di wilayah Belanda pada tahun 1942, salah satunya mereka diam-diam menyortir surat keluar masuk di seluruh kantor-kantor pos.
Ujungnya, agen rahasia NAZI menemukan surat yang ditujukan kepada Edith Stein dari keluarganya di Perancis (pelarian). Dalam surat tersebut, berisikan kekhawatiran keluarganya atas ke-Yahudi-an Edith Stein di Belanda. Dalam surat itu, tertulis bahwa Teresa Benedikta bernama asli Edith Stein, seorang Yahudi. Tepat 31 Juli 1942, Edith Stein bersama Rosa ditangkap militer NAZI.
Edith Stein meninggal bersama ratusan orang keturunan Yahudi lainnya di kamp konsentrasi Auschwitz, Polandia, pada 9 Agustus 1942. Tercatat 987 mayat (105 diantaranya teridentifikasi anak-anak) dalam keadaan membusuk, berada di ruang berukuran 48m x 24m. Ruangan tersebut terhubung dengan 24 pipa berdiameter 4.2 cm ke 6 tangki gas (beracun).
Sebelumnya, 20 Juli 1942, ‘Bisschoppen Conferentie’ atau Konferensi Uskup mengeluarkan ‘dekrit’ berisikan penolakan rasisme anti-Yahudi dari propaganda Adolf Hitler. Dekrit tersebut muncul sebagai ‘reaksi’ dari Reichskommissar (Otoritas Belanda), Arthur Seyss Inquart, yang mengeluarkan perintah penangkapan seluruh orang keturunan Yahudi di Belanda, melalui operasi militer yang disponsori NAZI.
Menurut catatan NAZI, nama Edith Stein atau Teresa Benedikta terdaftar pada 2 Agustus 1942, dan ditempatkan di kamp konsentrasi Westerbork. Di kamp tersebut, sehari sebelum deportasi ke Auschwitz,
Rud van der Werff (dieksekusi mati 10 Agustus 1942), militer Belanda berpangkat Sersan, menawarkan pelarian terencana saat deportasi (7 Agustus 1942) kepada Edith Stein. Namun, ia menolak tawaran tersebut yang ditulis selembar kertas kepada Rud van der Werff.
Eksekusi mati NAZI kepada seluruh tawanan di Auschwitz dilakukan serentak pada 9 Agustus 1942. Pada hari itu juga, diperingati sebagai ‘Hari St. Teresa Benedikta dari Salib’.
Terlahir pada 12 Oktober 1891 di Breslau / Wroclaw, Polandia, dari keluarga Yahudi. Ia lahir bertepatan ‘Hari Yom Kippur’, menurut kalender Yahudi.
Ia tercatat sebagai alumni Universitas Breslau atau “Schlesische Friedrich Wilhelms Universitat”. Edith Stein berstatus doktor filsafat dengan predikat summa cum laude, dan pernah mengajar di Universitas Freiburg, usai ia menyelesaikan tesis doktoral di Universitas Gottingen tahun 1916.
Seorang Edith Stein atau St. Teresa Benedikta, memang sudah tiada, tapi namanya tetap eksis hingga saat ini. 9 Agustus 1988, teater kehidupan St. Teresa Benedikta, dipentaskan pertama kalinya oleh Arthur Giron di Pittsburgh Public Theater, sekaligus cikal bakal kisah St. Teresa Benedikta dalam bentuk seni drama.
9 Agustus 2008, “Stolperstein Memorial” sosok St. Teresa Benedikta, diresmikan Pemerintah Polandia di Michaelisstrasse / Nowowiejska, Wroclaw. 12 Juni 2009, tulisan-tulisan filosofis dari St. Teresa Benedikta dimasukan dalam ‘literasi baku internasional’ saat konferensi International Association for the Study of the Philosophy of Edith Stein (IASPES) di Maynooth University, Irlandia.
9 Agustus 2009, patung kepala berwajah St. Teresa Benedikta diresmikan di Walhalla, Jerman oleh otoritas setempat. 6 Juni 2014, nama St. Teresa Benedikta, disematkan sebuah bel raksasa di Katedral Bayeux, oleh Pangeran Charles saat peringatan D-Day ke-70.
Saat ini terdapat banyak sekolah, gedung maupun asrama yang menggunakan nama Edith Stein sebagai bentuk penghormatan kepadanya, asrama Universitas Tübingen, gedung di Massachusetts, Darmstadt di Jerman, Hengelo di Belanda, Mississauga di Kanada, dan lainnya.
St. Teresa Benedikta dari Salib dinyatakan sebagai salah seorang dari enam santo atau santa pelindung Eropa, bersama dengan St. Benediktus dari Nursia, St. Sirilus dan Metodius, St. Brigitta dari Swedia, dan St. Katarina dari Siena.
1 Mei 1987, Edith Stein ‘dibeatifikasi’ sebagai martir di Koln, Jerman, oleh Paus Yohanes Paulus II, dan kanonisasi 11 Oktober 1998 di Vatikan. Mukjizat yang menjadi dasar kanonisasinya adalah kesembuhan Benedicta McCarthy, seorang gadis kecil yang mengalami nekrosis hati.
Hal itu merujuk peristiwa penting yang dialami Pastor Emmanuel Charles McCarthy, dari Gereja Katolik Yunani-Melkit, yang berdoa memohon kesembuhan bagi gadis kecil itu, lewat perantaraan Teresa Benedikta. Doa tersebut disaksikan langsung oleh Dokter Ronald Kleinman, spesialis pediatrik di Massachusetts General Hospital di Boston, beserta 4 perawat lainnya.