Candi Penampihan, Jejak Kisah Penolakan Dan Penerimaan
TULUNGAGUNG – Menurut cerita rakyat setempat menyebutkan bahwa pada suatu ketika seorang pembesar dari Ponorogo bermaksud melamar seseorang dari Kerajaan Kediri, yaitu Dewi Kilisuci. Beserta rombongan beliau berangkat lengkap dengan segala perangkat yang diperlukan bagi sebuah pelamaran dan perkawinan.
Di tengah perjalanan, kurir diutus terlebih dahulu untuk menyampaikan maksud sang pembesar. Kurir kembali dari Keraton Kediri membawa berita penolakan Dewi Kilisuci. Kegundahan sang pembesar tadi diikuti dengan niat tidak ingin kembali ke kampung asalnya.
Beliau mendirikan sebuah bangunan suci dan menghabiskan sisa hidupnya disana. Penamaan Candi Penampihan, dikatakan dalam cerita rakyat tersebut berasal dari kata ‘tampik’ yang artinya tolak. Arti Penampihan itu sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang berarti Penerimaan. Namun terdapat dua versi arti yang berkembang yaitu, antara penolakan dan penerimaan yang bersyarat.
Candi Penampihan adalah candi Hindu kuno peninggalan kerajaan Mataram kuno yang terletak dilereng Gunung Wilis, Dusun Turi, Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung. Merupakan candi Hindu kuno yang dibangun pada tahun Saka 820 atau 898 Masehi.
Candi Penampihan merupakan candi pemujaan dengan tiga tahapan (teras) yang dipersembahkan untuk memuja Dewa Siwa, dimana konon peresmian candi ini dengan mengadakan pagelaran Wayang (ringgit). Selanjutnya era demi era pergolakan perebutan kekuasaan dan politik di tanah jawa berganti mulai dari kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit sekitar abad 9-14 M, candi ini terus digunakan untuk bertemu dan memuja Tuhan, Sang Hyang Wenang.
Di dalam kompleks Candi terdapat beberapa Arca yaitu arca Siwa dan Dwarapala, tetapi karena ulah Manusia yang tidak mencintai dan menghargai Heritage dan legacy dari nenek moyang beberapa arca telah hilang dan rusak. Untuk mengamankan beberapa arca yang tersisa yaitu arca siwa sekarang diletakan di museum situs Purbakala Majapahit Trowulan Jawa timur.
Masih di kompleks candi Penampihan terdapat 2 kolam kecil yang bernama Samudera Mantana (pemutaran air samudera). 2 kolam tersebut merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa.
Kolam yang sebelah utara merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian utara dan Kolam sebelah selatan merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian selatan. Apabila sumber air di kedua kolam tersebut kering berarti keadaan air dibawah menderita kekeringan. Sebaliknya, bila kedua atau salah satu kolam tersebut penuh air berarti keadaan air di bawah sedang banjir.
Candi Penampihan didirikan dengan memanfaatkan sisa punden berundak masa prasejarah. Dengan kata lain, bangunan suci Hindu itu “ditumpangkan” di atas punden berundak.
Sebenarnya kesejarahan situs dapat dikenali melalui penemuan prasasti. Dari kompleks percandian ini dijumpai dua jenis prasasti yang dipahatkan pada batu andesit dan lempengan tembaga. Prasasti dari batu andesit tersebut dikeluarkan oleh Rakai Watukura pada tahun 820 Saka.
Tokoh yang naik tahta kerajaan Mataram kuna karena perkawinan ini diyakini memang meluaskan kekuasaan ke Jawa Timur. Berkenaan dengan keberadaan prasasti tersebut, ada pendapat ahli yang menyatakan bahwa prasasti tersebut adalah sebuah prasasti tinulad, copyan prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi seorang raja atau penguasa.
Mereka yang menerima versi ini berkeyakinan bahwa candinya tidak setua itu (abad X). Dari prasasti lain yang terbuat dari tembaga, diketahui bahwa kompleks kekunaan Penampihan berhubungan dengan tokoh Kertanegara.
Diceritakan pula bahwa Kertanegara mengubah upacara keagamaan serta segala upacara agama yang mati dihidupkan kembali. Hal ini dikaitkan dengan ajaran Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara.
Prasasti Penampihan yang dipahatkan diatas tujuh lempengan tembaga dikenal pula sebagai prasasti Sarwadharma itu berangka tahun 1191 Saka dan dikeluarkan tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269 M. Didalamnya disebutkan pula pebagian kasta dalam kelompok-kelompok masyarakat.
Fungsi candi ini tentu dihubungkan dengan masalah pemujaan. Candi ini bersifat Hindu, bila dihubungkan dengan penggambaran kura-kura yang melandasi bangunan utamanya.
Seperti diketahui dari mitologi Hindu, kura-kura adalah salah satu awatara penjelmaan Wisnu. Begitu pula bila dikaitkan dengan prasasti yang terbuat dari batu andesit yang berukuran besar yang terdapat di percandian ini. (red)