NEWS

Banten, Simbol Penyerahan Diri Manusia

CMN 101 – Sembahyang berasal dari kata “sembah” merupakan bentuk penghormatan atau permohonan kepada Tuhan. Pendekatannya banyak bentuknya, salah satunya menggunakan media sarana sesajen. Yadnya inilah yang menggerakkan pembuatan banten.

Dalam konsepnya, banten itu disusun berdasarkan Triangga (badan) sebagai alat pembanding atau pengukur. Ada yang berkedudukan di hulu (kepala), di tengah/madia sebagai badan, dan bagian teben sebagai kaki.

Banten menjadi simbol penyerahan diri manusia yang dilandasi ketulusan hati atau lascarya. Ketulusan ini diwujudkan dalam bentuk tatuasan yang menunjukkan saking tuas (lascarya). Reringgitan yang menunjukkan keindahan seni adalah simbol perasaan cinta kasih dan bhakti untuk mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan Hyang Maha Esa.

Dalam kehidupan Agama Hindu telah muncul keinginan umatnya untuk meningkatkan cara-cara hidup beragama, serta mendalami ajaran-ajaran agamanya, dengan menggunakan Pendekatan rasionalis dan filosofis, guna menembus kajian sastra agama yang terhimpun dalam berbagai pustaka lontar peninggalan leluhur.

Dalam konteks ini betapa pentingnya bentuk-bentuk upacara dan Upakara Agama untuk dapat dipahami arti, fungsi dan kegunaannya, guna menambah mantapnya perasaaan di dalam melaksanakan upacara itu sendiri. Khusus didalam upacara masih terdapat berbagai variasi, baik mengenai pengertiannya, upakaranya maupun tata caranya.

Adanya variasi itu memang bukan tanpa alasan karna agama hindu yang bersifat fleksibel dan elastis, dalam arti dapat dilaksanakan menurut Desa Kala Patra atau tempat waktu dan keadaan, Berlandaskan pada Catur Dresta serta dalam wujud Nista, Madya dan Utama yaitu kecil, sedang bahkan besar upacara, namun adanya suatu pedoman yang dapat dijadikan pegangan adalah sangat perlu untuk mengindari terjadinya perbedaan-perbedaan yang mendasar.

Upacara yang berasal dari kata sansekerta, Upa dan Cara, Upa berarti sekeliling atau menunjuk segala dan Cara berarti gerak atau aktifitas. Sehingga upacara dapat diartikan dan dimaknai gerakan sekeliling kehidupan manusia dalam upaya menghubungkan diri dengan Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa. Aktifitas ini dilakukan berlandaskan Kitab Suci Weda dan Satra Agama Hindu.

Sarana upacara adalah Upakara. Upakara di populerkan dengan istilah Banten, yang dimana Banten artinya wali. Maka dari itu Upakara Dewa Yadnya sering disebut Puja Wali. Wali yang berarti wakil mengandung pengertian simbolis dan filosofis, bahwa banten itu merupakan wakil dari pada isi alam semesta yang ciptakan oleh Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa.

Banten memiliki banyak Jenis dan bentuknya serta bermacam-macam bahannya, banten kelihatannya unik dan rumit. Banten mengandung arti simbolik dan filosofis yang tinggi serta berpadu dengan seni rupa dan seni rias yang mengagumkan sebagai ungkapan rasa syukur umatnya kepada Sang Pencipta.

Banten yang dikategorikan sebagai banten hulu (linggastana) adalah canang sari, daksina, suci, dewa-dewi dan catur. Besar kecilnya banten hulu ini mempengaruhi banten yang menyimbolkan badan. Banten bagian badan biasanya disebut banten ayaban, yang berupa canang ajengan atau canang raka, sorohan, bebangkit. Sedangkan yang masuk dalam simbol kaki adalah nasi sega, nasi kepel, dan segehan pancawarna.

Semua banten yang menjadi simbol perwujudan manusia ini terbangun dari unsur Panca Maha Butha dan Panca Tan Matra. Ditransformasikan dalam unsur benda-benda yang ada di bumi. Misalnya bagian apah (air) adalah air tawar dan air laut, atau makhluk hidup yang hidup di air seperti ikan lele, yuyu, udang, ikan teri, ikan pari. Dari unsur pertiwi (tanah), seperti kacang-kacangan, umbi-umbian. Yang mewakili unsur akasa (udara) seperti binatang buruan.

Bentuk persembahan ini tidak terlepas dari profesi yang ditekuni masyarakatnya. Misalnya, untuk para petani akan mempersembahkan hasil pertaniannya untuk Dewi Sri Sedana. Sedangkan bentuk banten akan berbeda pada yang berprofesi sebagai pedagang yang memohon berkah pada manifestasi Dewi Rambut Sedana.

Profesi umat ini mempengaruhi bentuk banten. Sehingga, banten di Bali sangat fleksibel. Ada benten yang besar unitnya, seperti mecatur tapi ada juga hanya tingkat tegteg daksina saja sudah cukup.

Faktor seni dalam Banten mempunyai arti penting karena dapat menuntun pikiran kearah keindahan menuju ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa inilah faktor yang sangat penting untuk mencapai pemusatan pikiran dalam menuju Hyang Widhi, maka dari itu faktor seni dalam keagamaan adalah positif, karena berperan sebagai unsur penunjang pelaksanaan Upacara Agama.

Banten terdiri dari tiga unsur yaitu Mataya adalah bahan banten yang berasal dari yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan seperti daun, bunga dan buah. Maharya adalah bahan banten yang berasal dari yang lahir di wakili oleh binatang seperti babi, kambing, kerbau, sapi dan lain lain. Mantiga adalah bahan banten yang berasal dari binatang yang lahir dari telur itu sendiri, seperti ayam, itik, angsa, telur ayam, telur itik dan telur angsa. Sebagai pelengkap dalam Upacara Banten juga disertai dengan air dan api.

Banten daksina/pejati adalah salah satu banten hulu yang dianggap sejati. Tak perlu yang mewah. Namun, bagian isinya memiliki makna yang penting. Daksina diterjemahkan sebagai simbol dunia, hal itu terlihat dari setiap pengadegan Bhatara pasti menggunakan daksina. Bahan-bahan penyusun banten ini mewakili isi dunia dalam versi mini.

Dirinci pula, daksina memiliki unsur-unsur badan alam makrokosmos. Daksina yang dibalut dalam sok srebeng/srobong adalah perwujudan kulit luar dari badan. Berisi kelapa sebagai kepala/hulu. Kelapa memiliki bentuk menyerupai kepala yang berisi mata dan mulut/hidung di bagian hulu kelapa itu. Selain ada juga ada mithologi bahwa kelapa adalah perwujudan alam jagat raga yang berasal dari kepala Dewa Brahma.

Bagian selanjutnya adalah telur yang melambangkan jantung karena bentuknya menyerupai jantung. Tingkih sebagai ungsilan dan pangi simbolik hati karena bentuk dan warnanya seperti hati. Daksina juga tersusun dari pisang kayu yang menjadi simbol tulang karena memiliki bentuk seperti tulang iga. Bija ratus sebagai jeroan/usus.

Bagian bawah kelapa berisi tampak, yang menjadi simbol cakra berputar. Diterjemahkan sebagai hukum alam yang terus bergerak. Juga berisi peselan yang terbuat dari 5 jenis daun buah-buahan yang mewakili warna putih, merah, kuning, hitam dan hijau atau biru.

Lima warna ini menggambarkan panca dewata. Pemilihan jenis daun ini pun fleksibel berdasarkan jenis daun yang tersedia di sekitar tempat tinggal. Peselan ini memiliki makna mengharapkan kehadiran Panca Dewata untuk berstana di daksina agar menyaksikan dan menganugerahkan kerahayuan.

Bentuk banten atau tetandingan yang terlihat begitu rumit menyebabkan orang mengerjakannya berhari-hari dengan tekun dan teliti. Proses pembuatan tetandingan ini menjadi kesempatan untuk orang agar sepuas-puasnya dapat mengabdi melalui kerja dan bhakti untuk Ida Sang Hyang Widhi. (red)

%d blogger menyukai ini: