Babad Tanah Jawi, Sastra Bertema Sejarah Berbentuk Tembang
CMN 101 – Babad Tanah Jawi, sebuah sastra berbentuk tembang macapat berbahasa Jawa, yang berisi mengenai sejarah pulau Jawa. Terdapat beragam susunan, isi dan tidak ditemukan salinan yang berusia lebih tua daripada abad ke-18.
Dibuat sebagai karya sastra bertema sejarah yang berbentuk tembang. Sebagai babad dengan pusat zaman kerajaan Mataram, naskah ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Naskah ini juga memuat silsilah cikal bakal raja-raja tanah Jawa, dalam naskah ini penulis memberikan relasi hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu sampai Islam di tanah Jawa. Naskah ini dipakai sebagai salah satu referensi dalam melakukan rekonstruksi sejarah pulau Jawa.
Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis dan tidak menjadikannya sebagai rujukan primer.
Babad Tanah Jawi dikelompokkan menjadi dua kelompok induk naskah. Pertama, induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno (Carik Braja) atas perintah Pakubuwana III. Induk ini telah beredar pada tahun 1788.
Pada tahun 1874, Johannes Jacobus Meinsma menerbitkan versi gancaran (prosa) dari induk ini yang dikerjakan oleh Ngabehi Kertapraja. W. L. Olthof pernah mereproduksi ulang versi Meinsma pada tahun 1941.
Pada kedua versi tersebut, nama Ngabehi Kertapradja tidak dicantum. Menurut Merle Calvin Ricklefs, versi Meinsma bukan sumber utama yang bisa diterima untuk riset sejarah, dan sebaliknya mengakui edisi Olthof.
Kedua, induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Adilangu II yang hidup di masa Pakubuwana I dan Pakubuwana II. Naskah tertuanya bertanggal tahun 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan, sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain, H. J. de Graaf. Menurutnya, apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya peristiwa sejarah abad ke-16 sampai pada abad ke-18.
Namun, untuk sejarah di luar era itu, de Graaf tidak menyebutnya sebagai data sejarah karena sarat dengan campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Menjelang Perang Dunia II, Balai Pustaka juga menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa. (red)