NEWS

Apa Itu Kitab Deuterokanonika?

CMN 101 – Deuterokanonika adalah istilah yang dipakai Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Kristen Timur sejak abad ke-16 sebagai sebutan bagi kitab-kitab dan bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci Perjanjian Lama Kristen yang tidak menjadi bagian dari Alkitab Ibrani saat ini. Istilah ini digunakan untuk membedakan kitab-kitab dan bagian-bagian tertentu tersebut dari kitab-kitab protokanonika, yakni kitab-kitab yang menjadi bagian dari Alkitab Ibrani. Perbedaan ini sebelumnya menimbulkan perdebatan dalam Gereja perdana sehubungan dengan apakah kitab-kitab tersebut dapat digolongkan sebagai naskah-naskah kanonik. Istilah deuterokanonika digunakan sebagai suatu alasan kemudahan oleh Gereja Tewahedo Ortodoks Ethiopia dan Gereja lainnya untuk merujuk pada kitab-kitab Perjanjian Lama mereka yang bukan merupakan bagian dari Teks Masoret.

Kitab-kitab Deuterokanonika dianggap kanonik oleh Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja di Timur (termasuk Gereja Asyur di Timur), tetapi dianggap nonkanonik oleh kebanyakan gereja dalam rumpun besar Kristen Protestan. Kata deuterokanonika berasal dari bahasa Yunani yang kira-kira berarti “termasuk kanon kedua”.

Istilah deuterokanonika mula-mula dipakai untuk membedakan kitab-kitab tersebut dari kitab-kitab yang dianggap nonkanonik dan protokanonik, tetapi beberapa versi Alkitab memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika maupun kitab-kitab nonkanonik ke dalam satu bagian tersendiri yang disebut “Apokrifa”. Pengaturan semacam ini dapat menyebabkan terjadinya penyamaan dua istilah yang berbeda (“deuterokanonika” dan “apokrip”), karena istilah “deuterokanonika” tidak berarti “nonkanonik” (atau “apokrip”).

Philip Schaff mengatakan bahwa “Konsili Hippo pada tahun 393, dan Konsili Kartago yang ketiga (yang keenam menurut perhitungan lain) pada tahun 397, di bawah pengaruh Agustinus yang hadir dalam keduanya, menetapkan kanon Kitab Suci Katolik, termasuk Apokrifa Perjanjian Lama, … Bagaimanapun keputusan ini tunduk pada ratifikasi gereja seberang lautan (Roma); dan persetujuan dari Tahta Roma yang diterimanya pada masa Innosensius I dan Gelasius I (414 M) mengulangi daftar kitab-kitab biblika yang sama. Kanon ini tetap tak terganggu sampai abad ke-16, dan disetujui oleh Konsili Trente pada sesi keempat.”

Konsili Trente pada tahun 1546 mendukung keputusan konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab apa saja yang termasuk dalam kanon. Mayoritas peserta konsili di Trente mendukung keputusan ini, tetapi terdapat minoritas peserta yang tidak setuju dengan kitab-kitab yang diterima dalam kanon. Di antara kalangan minoritas yang tidak setuju dengan dimasukkannya kitab-kitab deuterokanonika dalam Kanon adalah Kardinal Girolamo Seripando dan Thomas Cajetan yang menjadi penentang Martin Luther di Augsburg. Para Bapa Konsili Trente mengkonfirmasi pernyataan-pernyataan dari berbagai konsili regional sebelumnya yang juga memasukkan kitab-kitab deuterokanonika ke dalam kanon, misalnya Sinode Hippo tahun 393 dan Konsili Kartago tahun 397.

Deuterokanonika adalah suatu istilah yang dicetuskan tahun 1566 oleh Sixtus dari Siena, seorang teolog yang melakukan konversi ke Katolik dari Yudaisme, untuk mendeskripsikan teks-teks kitab suci Perjanjian Lama yang dipandang kanonik oleh Gereja Katolik, tetapi tidak termasuk dalam Alkitab Ibrani yang sekarang, dan termasuk juga beberapa kitab yang pernah diabaikan oleh beberapa pendaftar kanon awal, terutama di Timur.

Penerimaannya di antara jemaat Gereja perdana menyebar luas, walaupun tidak universal, dan Alkitab Gereja perdana selalu menyertakan, dengan berbagai tingkat pengakuan, kitab-kitab yang sekarang disebut deuterokanonika. Beberapa mengatakan bahwa kanonisitas kitab-kitab tersebut tampaknya tidak pernah diperdebatkan dalam Gereja sampai mendapat tentangan dari kalangan Yahudi setelah tahun 100 Masehi, terkadang merujuk pada Konsili Yamnia (suatu konsili yang berupa dugaan, teori). Konsili-konsili regional di Barat mengumumkan kanon-kanon resmi yang mencakup kitab-kitab tersebut pada awal abad ke-4 dan 5.

Di Yerusalem terjadi suatu pembaharuan, atau setidaknya suatu peninggalan, dari gagasan-gagasan kaum Yahudi, yakni suatu kecenderungan adanya ketidaksukaan terhadap kitab-kitab ‘deutero’ tersebut. Santo Sirilus dari Yerusalem menegaskan hak Gereja untuk menetapkan Kanon Alkitab, tetapi menempatkan kitab-kitab tersebut dalam daftar apokrifa dan melarang semua kitab yang tidak dibacakan dalam gereja untuk dibaca secara pribadi. Sementara di Antiokhia dan Suriah masih lebih disukai. St. Epifanius dari Salamis ragu-ragu mengenai tingkatan kitab-kitab deutero. Ia menghormatinya, tetapi kitab-kitab tersebut dianggapnya tidak setara dengan kitab-kitab Ibrani. Di sisi lain, versi Oriental dan naskah Yunani yang berasal dari masa tersebut lebih liberal karena mencakup semua kitab deuterokanonika dan dalam beberapa kasus apokrifa tertentu.

Dalam Gereja Latin, sepanjang Abad Pertengahan, terdapat bukti adanya keraguan mengenai posisi kitab-kitab deuterokanonika. Ada pihak yang menyukainya, ada pihak lain yang tidak menyukainya sehubungan dengan tingkatan kesucian dan otoritasnya. Dalam kebimbangan mengenai kedua hal tersebut, ada sejumlah penulis yang penghormatannya terhadap kitab-kitab ini lebih didasari pada beberapa kebingungan dibanding kedudukan sebenarnya dari semua kitab tersebut, dan di antara mereka adalah St. Thomas Aquinas. Ada sedikit yang mengakui secara tegas kanonisitas kitab-kitab itu. Posisi yang dominan di kalangan penulis abad pertengahan dari Barat pada hakikatnya merupakan sikap para Bapa Gereja Yunani itu. Penyebab utama fenomena ini di Barat mungkin merupakan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari Prologus Galeatus karya St. Hieronimus yang tampak melemahkan kitab-kitab tersebut. (red)

%d blogger menyukai ini: