NEWS

Apa Itu Kitab Apokrifa?

CMN 101 – Kata ‘apocrypha’ berarti “tersembunyi”. Ketika digunakan untuk kumpulan tulisan-tulisan Yahudi dari masa intertestamental (masa antara penulisan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) kata tersebut mempunyai dua konotasi, yaitu kitab-kitab yang “disembunyikan” karena sifatnya yang esoteric (hanya dipahami dan diketahui oleh beberapa orang tertentu saja), atau kitab-kitab yang “disembunyikan” karena memang harus demikian – karena kitab-kitab tersebut tidak pernah diakui sebagai kanon oleh orang-orang Ibrani.

Apokrifa adalah kumpulan empat belas (atau lima belas, bergantung pada penghitungannya) kitab yang ditulis oleh penulis-penulis Ibrani antara tahun 200 sebelum Masehi dan tahun 100 Masehi. Kitab-kitab ini semula ditulis dalam bahasa Yunani dan Aram dan telah dipelihara dalam bahasa Yunani, Latin, Etiopia, Kupti, Arab, Siria, dan Armenia. Apokrifa berisi enam gaya atau jenis sastra yang berbeda-beda, termasuk sastra yang bersifat mendidik (didaktik) agama, romantis, sejarah, nubuat(menyangkut surat dan wahyu), dan legenda.

Pada mulanya kitab-kitab Apokrifa itu ditambahkan satu demi satu pada edisi Septuaginta yang belakangan, terjemahan dalam bahasa Yunani dari Perjanjian Lama Ibrani yang diselesaikan sekitar tahun 250 sM karena dianggap perlu sebab dampak Helenisme terhadap Yudaisme. Kitab-kitab ini jelas terpisah dari Alkitab Ibrani dan tidak dianggap oleh orang Ibrani sebagai bagian dari kanon Perjanjian Lama.

Namun, para ahli kitab Ibrani tidak membuat catatan apa pun mengenai hal ini, sehingga menimbulkan sedikit kebingungan di antara orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani yang menerima Septuaginta sebagai Alkitab mereka. Hal ini terutama terjadi sesudah tahun 100, semenjak beberapa salinan Septuaginta diterjemahkan oleh para juru tulis Kristen.

Selama abad-abad awal dari kekristenan terjadi silang pendapat sehubungan dengan kanonitas kitab-kitab Apokrifa. Misalnya, bapa-bapa gereja Yunani dan Latin seperti Ireneus, Tertulianus, dan Klemes dari Aleksandria mengutip Apokrifa dalam tulisan mereka sebagai “Kitab Suci”, dan Sinode di Hippo (tahun 393) mengesahkan penggunakan Apokrifa sebagai kanon. Akan tetapi, orang lain seperti Eusebius dan Athanasius membedakan Apokrifa dari Perjanjian Lama.

Pertentangan mengenai Apokrifa sebagai kanon Perjanjian Lama memuncak dengan penerbitan Vulgata, Perjanjian Lama dalam bahasa Latin oleh Jerome/Eusebius Sophronius Hieronymus (347-420) di tahun 405. Ditugaskan oleh Paus Damasus, terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Latin ini dimaksudkan sebagai edisi “populer” Alkitab untuk Gereja Roma yang kudus. Jerome menentang pengakuan Apokrifa sebagai kanon Perjanjian Lama dan membuat catatan-catatan yang cermat dalam edisi Vulgatanya dengan tujuan itu.

Tapi Jerome sendiri tidak menganggap bahwa the Apocrypha adalah bagian dari buku-buku canonical Perjanjian Lama. Dia mengakui bahwa buku-buku tersebut memang baik untuk ‘edification’ dan layak dibaca di gereja, tapi dia tidak memberikan status yang sama dengan kitab-kitab PL lainnya. Akan tetapi, beberapa revisi yang belakangan dari Vulgata Hieronimus ini lalai untuk mencantumkan perbedaan-perbedaan yang jelas ini, dan segera saja kebanyakan pembaca Latin tidak mengetahui adanya perbedaan antara Perjanjian Lama dan Apokrifa.

Reformasi sekali lagi memunculkan masalah Apokrifa sebagai kanon dalam diskusi-diskusi utama gereja. Sementara para tokoh reformasi menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam bahasa umat mereka, mereka mendapatkan bahwa Alkitab Ibrani tidak memuat kitab-kitab Apokrifa. Jadi, penilaian mereka “kitab-kitab yang kurang penting” ini tidak dicantumkan dalam kanon Perjanjian Lama atau dilampirkan sebagai kumpulan kitab yang terpisah dan lebih rendah mutunya. Hal membedakan antara kanon dan Apokrifa ini diantisipasi oleh Wycliffe dalam terjemahan bahasa Inggris yang dilakukannya pada tahun 1382. Kaum puritan diakui sebagai kelompok yang telah mengeluarkan seluruh Apokrifa dari Alkitab bahasa Inggris. Tradisi tidak mencantumkan Apokrifa ini masih tetap merupakan ciri khas dari mayoritas versi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh golongan protestan.

Gereja Roma menanggapi para tokoh reformasi pada konsili di Trente (1545-1564). Di konsili tersebut pada pemimpin menegaskan kembali Vulgata sebagai Alkitab gereja yang benar dan mengumumkan bahwa Apokrifa adalah sama dengan materi kanonik (teristimewa kitab Tobit, Sirakh, Kebijaksanaan, Yudit, 1-2 Makabe, Barukh, dan Tambahan-tambahan pada kitab Ester dan kitab Daniel). (red)

%d blogger menyukai ini: