Ada Konspirasi Dibalik Situs Calon Arang?
KEDIRI – Kisah Calon Arang unik untuk dikupas mendalam, lantaran tokoh yang dianggap jahat, justru menurunkan tokoh-tokoh yang memainkan perannya dalam sastra, budaya, maupun politik di tanah Jawa dan Bali, bertolakbelakang dari efek hukum sebab akibat yang harus ditanggung bersama keturunannya. Di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, terdapat jejak riwayat Calon Arang berupa tumpukan bebatuan atau situs.
Menurut sejarah, Calon Arang hidup di masa pemerintahan Raja Airlangga atau Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa, yang berkuasa atas Kerajaan Dhaha yang berpusat di Kahuripan pada tahun 931 Saka atau 1009 Masehi hingga 964 Saka atau 1042 Masehi.
Dalam serat Calon Arang, Raja Airlangga disebut sebagai Raja Kediri, dalam artian belum ada pemisahan kekuasaan Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian, yaitu Kerajaan Janggala dan Kerajaan Dhaha. Di masa pemerintahan Raja Airlangga, terbitlah mahakarya sastra Kakawin Arjuna Wiwaha yang ditulis Mpu Kanwa.
Dari sisi historis, Mpu Bharadah inilah yang sukses menaklukan Calon Arang atau dengan nama lain “Dayu Datu” atau Ratu Nating Girah, dan Calon Arang ini tinggal di Desa Girah atau menurut penafsiran adalah “Gurah” Kediri.
Orangtua Raja Airlangga adalah Raja Udayana dari Kerajaan Bedahulu asal Wangsa Warmadewa dan Ratu Mahendradatta dari Kerajaan Medang asal Wangsa Isyana. Jadi, bila ditilik garis keturunan penguasa Kerajaan Dhaha, masih ada korelasinya dengan penguasa di tanah Bali.
Calon arang dikisahkan dalam Serat Calon Arang sebagai tokoh antagonis, dan dia dituduh otak dibalik matinya ribuan warga Girah, akibat teluh yang disebarnya. Dahsyatnya teluh itu, berujung munculnya Mpu Bharadah sebagai pahlawan, sekaligus penakluk Calon Arang.
Kekalahan Calon arang tak lepas dari Mpu Bhahula putra Mpu Bharadah, karena dialah yang mencuri kitab berisikan mantra-mantra sakti. Tak cuma itu, kekalahan itu disebabkan tiadanya sosok Dewi Dhurga yang biasanya mendampingi Calon Arang.
Setelah itu, Ratna Manggali menikah dengan Mpu Bhahula, sekaligus rekonsiliasi dari jejak permusuhan Mpu Bharadah versus Calon Arang. Dari pernikahan itu, hilanglah akar permusuhan yang terjadi di masa pemerintahan Raja Airlangga.
Ratna Manggali yang notabene putri Calon Arang, justru menjadi ibu tokoh-tokoh besar Nusantara, dan dari dialah Mpu Tantular dilahirkan. Mpu Tantular adalah sosok penulis Kitab Sutasoma, dan dari kitab ini ada bait yang menjadi semboyan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Mpu Tantular memiliki anak bernama Dang Hyang Kepakisan, dan ia memiliki putra bernama Cri Soma Kepakisan, dialah Mahaguru dari tokoh besar era Kerajaan Majapahit, yaitu Mahapatih Gajah Mada.
Selain itu, Dang Hyang Kepakisan memiliki anak bernama Dalem Sri Semara Kepakisan, dan dari dia lahir Dalem Waturenggong, Raja Gelgel yang berkuasa di tanah Bali.
Mpu Tantular juga memiliki anak bernama Dang Hyang Sidhimantra, dan ia memiliki putra bernama Ida Manik Angkeran, dari dialah lahir Arya Wiraraja, yaitu suksesor bagi Pangeran Wijaya, terciptanya Kerajaan Majapahit.
Kisah Calon arang bisa dikatakan agak janggal dari sudut pandang lain, bahkan bisa dikatakan berbau konspirasi yang berlatarbelakang diskriminasi gender pada masa masyarakat yang masih patriarkal.
Disebutkan dalam literasi tersebut, Calon Arang ternyata mempelajari ilmu Tantrayana atau Vajrayana, yaitu ajaran Buddha tingkat tinggi, dan Tantrayana bagian dari Mahayana, tak ada hubungannya dengan Dewi Dhurga. Tak sembarangan orang bisa mempelajari ilmu Tantrayana, dibutuhkan sifat welas asih dan pasrah akan kehendak kematian.
Sebagaimana dasar ajaran tersebut, Sang Buddha menekankan bahwa yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Calon Arang disebut telah memiliki mempelajari ilmu Tantrayana tingkat teratas, yaitu pasrah atas kematian dan meyakini kebenaran sesudah roh terlepas dari jiwa.
Atas dasar tersebut, sepak terjang Calon Arang sebagai sosok jahat bertolakbelakang dari ajaran yang dianutnya. Dari keterangan inilah, diduga Mpu Bharadah sukses menaklukan Calon arang tanpa perlawanan, dalam artian ia pasrah untuk dimatikan, sesuai ajaran Tantrayana.
Diduga, kematian ribuan warga Girah bukan karena diteluh Calon Arang, melainkan diracun, bisa melalui media air maupun makanan. Namun, bisa jadi pada waktu itu terjadi pagebluk, dan Calon arang langsung menjadi terdakwa, tanpa melalui status tersangka terlebih dahulu.
Kejanggalan berikutnya, terletak pada subjek, yaitu Ratna Manggali yang disebutkan cantik mirip bidadari. Mustahil wanita cantik sulit cari jodoh, walaupun segalak atau sesangar apapun orang tuanya, dipastikan banyak yang antri.
Profesi tabib pada masa itu diagungkan, tidak mudah mengawini anaknya bagi orang berlatarbelakang petani, dalam artian orang tertentu yang bisa menjalin korelasi kekeluargaan, dan Mpu Bharadah masuk kategori layak kekerabatan.
Jadi, tidak sembarang orang bisa mengawini Ratna Manggali, lantaran latarbelakang menjadi acuan layak tidaknya menyandang status suaminya. Disinilah ada tabrakan antara logika dengan akal sehat, terkait sulitnya Ratna Manggali mencari pasangan sehidup semati.
Calon arang adalah sosok perempuan berstatus janda, diduga ia berwajah cantik, dan dari dugaan inilah, kemungkinan besar orang lebih memilih berobat ke Calon Arang yang cantik ketimbang tabib laki-laki yang rata-rata berusia tua, dan tentunya tidak ganteng lagi.
Apalagi, sesuai ajaran Tantrayana yang dianutnya, kemungkinan besar Calon Arang menyembuhkan orang tanpa dipungut biaya sepeserpun alias gratis.
Versi lain yang umum dikenal menceritakan Calon Arang melakukan ritual dan menjalin kontak dengan Batari Durga, untuk memohon kesaktian. Batari Durga sendiri adalah perwujudan dari Dewi Uma yang berstatus istri dari Batara kala, dan Batari Durga menyandang gelar “Ratu Setra Ganda Mayit”.
Dari Calon Arang inilah, muncul 4 kitab yang masuk kategori “Aji Wegig”, dalam artian Aji itu ilmu, dan Wegig itu sifat suka mengganggu orang lain. 4 kitab tersebut adalah Lontar Cambra Berag, Lontar Sampian Emas, Lontar Tanting Emas dan Lontar Jung Biru.
Terkait Lontar Lipyakara, disebut kitab milik Calon Arang yang berisikan mantra-mantra ilmu hitam, justru sebaliknya tidak digunakan dan disegel, agar tidak jatuh ke tangan orang yang beritikad jahat. Faktanya, eksistensi ilmu hitam yang diyakini bersumber dari lontar tersebut, tak pernah muncul di wilayah kekuasaan Kerajaan Dhaha, justru berada di luar.
Asumsi tersebut merujuk pada kisah dicurinya kitab itu oleh Mpu Bhahula, bila memang benar-benar digunakan Calon Arang, seharusnya ia sudah hafal tanpa harus membaca mantra, ketika beradu kesaktian melawan Mpu Bharadah.
Selain itu, Calon Arang pada masanya dikenal sebagai tabib, kemungkinan disinilah akar dari diskriminasi itu muncul, peran laki-laki digeser perempuan. Terlebih, profesi tabib pada masa itu bak selebritis yang menjadi sorotan publik dan panutan.
Raja Airlangga dikenal bijaksana, bahkan pada masa akhir pemerintahannya, ia meninggalkan keduniawian menjadi pertapa.
Sebagaimana termuat dalam Prasasti Pucangan yang bertarikh 963 Saka atau 1041 Masehi, ia sosok penganut Hindu yang taat, dan Prasasti Gandhakuti yang bertarikh 964 Saka atau 1042 Masehi, ia menjadi pertapa dengan gelar Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Bisa jadi, ini adalah konspirasi di tingkat bawah pemerintahan Raja Airlangga, bukan berada di dalam lingkup Kahuripan, dalam artian di luar kebijakan atau kontrol Kerajaan Dhaha. Konspirasi itu lebih merujuk pada kesenjangan gender, yaitu tabib laki-laki kalah pamor dibanding tabib perempuan, dan Calon arang adalah korban diskriminasi itu.
Sedangkan Mpu Bharadah adalah korban adu domba dari hoax yang tersebar. Hoax itu menyudutkan Calon arang sebagai dalang pembantaian ribuan warga Girah dengan meneluh secara massal.
Sebagaimana disebut dalam Prasasti Mahaksobhya yang bertarikh 1211 Saka atau 1289 Masehi, Mpu Bharadah adalah penganut Buddha yang taat dan orang dekat Raja Airlangga yang beragama Hindu.
Berdasarkan penggalian seputar kehidupan Mpu Bharada, diyakini tinggal di Padepokan “Lemah Tulis”, dan hidup pada masa pemerintahan Kerajaan Kahuripan dibawah kekuasaan Raja Airlangga. Padepokan Lemah Tulis atau “Lemah Citra”, bisa dikatakan masih belum dapat dipastikan, lantaran ada beberapa rujukan yang mengarah pada perbedaan lokasi yang sebenarnya.
Merujuk pada prasasti Kamalagyan yang berada di Desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo. Di prasasti tersebut tertulis, pada masa pemerintahan Raja Airlangga dibangun bendungan Waringin Sapta, dan disinyalir, Lemah Tulis ada disekitarnya, merujuk pada “Wurare”.
Versi lainnya, padepokan tersebut berada di Kabupaten Blora, berdasarkan rujukan “penafsiran” serat Calon Arang, yang menulis kata Wurare atau “Wurara”. Dari kedua kata tersebut, berevolusi alias berubah penuturannya, dari Wrura, Wlura, Blura dan terakhir Blora.
Berbeda lagi, bila merujuk pada temuan arca perwujudan Raja Kertanegara atau lebih dikenal dengan nama “Joko Dolog” dan nama lainnya “Budha Mahasobhya”. Pada batur alas sandaran, ada tulisan “Wurare”.
Menurut silsilah, Danghyang Bairasatwa menurunkan Danghyang Tahunun atau Mpu Lampita, dan Mpu Lampita menurunkan Mpu Gnjiaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Dari Mpu Bharadah, menurunkan Mpu Bahula, dan Mpu Bahula menurunkan Mpu Tantular atau dengan nama lain Danghyang Angsokanata.
Mpu Bharadah sendiri memiliki track record berdasarkan silsilah keluarganya. Kakeknya bernama Danghyang Bajrasatwa, seorang pendeta Hindu yang tersohor di masanya, dan dari dia lahir Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, seorang pendeta Buddha, sekaligus ayahnya, yang terkenal bijaksana pada masa itu.
Dari Danghyang Tanuhun, lahir Panca Tirtha, sebutan kelima anaknya, yaitu Mpu Gnijaya yang membangun Pasraman Lempuyang Madya pada tahun 971 Saka atau 1049 Masehi, dan dari dia diturunkan Sang Sapta Resi atau tujuh Pendeta Hindu Utama di tanah Bali.
Selanjutnya Mpu Semeru, yang membangun Pasraman Besakih pada tahun 921 Saka atau 999 Masehi, dan menurunkan Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah, tokoh besar di tanah Bali. Kemudian Mpu Ghana, yang membangun Pasraman Gelgel pada tahun 922 Saka atau 1000 Masehi.
Lalu Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, yang membangun Pasraman Silayukti pada tahun 923 Saka atau 1001 Masehi, dan yang terakhir adalah Mpu Bharadah, sosok yang berperan berbagai kebijakan dalam pemerintahan Raja Airlangga.
Diduga, Serat Calon Arang dibuat setelah Raja Airlangga turun tahta, dan penulisnya memiliki korelasi dengan oknum-oknum berkepentingan diskriminatif terhadap eksistensi Calon arang yang kemampuannya di atas tabib laki-laki.
Kemungkinan penulisnya ada dalam lingkup Kahuripan dan terpelajar, namun bukan orang dekat Raja Airlangga, sekaligus tulisannya tak ada hubungan dengan kebijakan penguasa saat itu. Beberapa bait dalam serat yang mencantumkan Raja Airlangga, hampir dapat dipastikan bersifat mencatut tanpa sepengetahuan si pemilik nama.
Disebut ada dalam lingkup Kahuripan, penulis menyebut nama-nama pejabat dan pada masa itu, tak sembarangan orang tahu orang-orang penting di sekitar Raja Airlangga. Dinyatakan terpelajar, karena hanya orang tertentu yang mampu menulis serat disertai peristiwa atau kejadian pada masa itu, dalam artian ada sisi sejarah yang terekam.
Informasi sejarah serat tersebut, sepadan dengan tulisan kitab atau kakawin lainnya dan prasasti-prasasti bertarikh masa hidup Raja Airlangga, dalam artian ada yang benar, tapi ada yang sengaja dibelokkan atau upaya penyelewengan historis pada masa itu, yaitu riwayat sebenarnya Calon Arang.
Konspirasi tersebut bisa jadi benar, bisa jadi salah, tergantung asumsi yang muncul dari sudut pandang yang berbeda. Setidaknya, ada sisi lain yang harus didalami untuk membuka sesuatu yang dianggap menyimpan kebenaran dari fakta di masa lalu. (red)